Sahabat,segala kesibukan itu -dari menghitung tabungan, urusan ke Depag, antre di bank, periksa kesehatan, kursus manasik haji, pamit-pamit, tasyakuran, menerima tamu-tamu yang titip doa, sampai upacara pelepasan di rumah, di kabupaten, hingga di embarkasi- sungguh melelahkan para calon jamaah haji. Belum lagi urusan di bandara-bandara. Segala kesibukan itu tentunya pertama-tama karena didorong oleh keinginan hidup bahagia di akhirat.
Di surga Allah. Bukankah para penatar manasik selalu menyitir sabda Nabi Muhammad SAW, "Wal hajjul mabruur laisa lahu jazaa-un illal jannah" ? Haji mabrur tak ada balasannya kecuali surga.
Maka, bukan saja kerelaan menanggung segala -biaya (termasuk biaya yang tidak seharusnya), tenaga, dan pikiran- yang dapat kita lihat dari kesibukan para calhaj (calon haji) itu, tapi juga dari semangat dan keseriusan mereka saat beribadah di tanah suci. Siapa yang mau bersusah-payah sedemikian tanpa hasil, sia-sia, gara-gara haji tidak mabrur.
Semuanya ingin haji mabrur. Para petugas dari Depag, perkumpulan- perkumpulan haji, dan KBIH-KBIH pun senantiasa memujikan hal itu. Namun sayang, pengertian tentang 'mabrur' itu sendiri jarang atau bahkan tidak pernah diterangkan. Hal ini mungkin karena mereka sudah mempunyai husnuzhzhan bahwa para jamaah sudah paham, atau boleh jadi, mereka sendiri pun kurang paham. Yang selalu dijelas-jelaskan justru bagaimana cara thawaf, sa'i, wuquf, melempar jumrah, serta amalan ibadah haji dan doa-doanya. Di beberapa daerah, bahkan, didirikan ka'bah-ka'bahan permanen atau semipermanen untuk keperluan 'latihan' thawaf. Ini sebenarnya lucu.
Mengapa harus kursus dan latihan? Haji adalah ibadah amaliyah. Ibadah laku. Tidak seperti salat yang di samping laku, ada bacaan-bacaannya yang wajib juga. Sedangkan amalan atau laku ibadah haji, tidak ada yang sulit. Ihram hanya memakai pakaian, salat sunnah, dan niat. Thawaf hanya berputar-putar mengelilingi Ka'bah 7 kali. Anda tidak bisa membayangkan orang -sebodoh apa pun tanpa dilatih sekalipun-keliru thawaf, misalnya keliru berputarnya. Sebab, jika keliru berputar, orang itu akan tertabrak orang-orang yang lain. Sa'i hanyalah mondar mandir dari Shofa ke Marwah. Jalur jalannya sudah diatur dua jalur: yang menuju ke Marwah dan yang kembali ke Shofa. Tak mungkin orang keliru, kecuali -paling-paling- lupa hitungannya.
Wuquf yang merupakan inti ibadah haji justru hanyalah berdiam diri. Thenguk-thenguk, bahasa Jawanya. Masak berdiam diri saja mesti dilatih? Hanya beberapa anak kecil yang biasanya sulit thenguk-thenguk. Melempar jumrah pun ya hanya melempar. Bagi mereka yang di waktu kecil nakal dan suka melempar jambu tetangga, melempar jumrah tentu perkara kecil. Sedangkan yang namanya tahallul, tidak lain hanya mencukur atau memotong rambut.
Jadi, menurut saya, hal-hal seperti itu perlu dikurangi -jika berat menghapusnya- dari kurikulum penataran manasik haji. Yang justru perlu adalah memberikan penerangan kepada jamaah calhaj -yang umumnya orang-orang awam- tentang hal-hal teknis lainnya. Misalnya, apa yang sebaiknya dibawa dan apa yang tidak perlu dibawa, bagaimana menjaga kesehatan, bagaimana menghadapi 'kehidupan luar negeri' dan tetek-bengeknya, bagaimana menghadapi berbagai macam jenis manusia yang berbeda adat-istiadatnya, dsb, dst.
Berkenaan dengan hadis tentang kemabruran haji itu, ada riwayat yang menyebutkan adanya pertanyaan para sahabat saat Nabi Muhammad SAW menyebut-nyebut tentang haji mabrur itu: "Wamaa birrul hajji ya Rasulallah?" Apa kemabruran haji itu ya Rasulallah? Dan ternyata jawaban Rasulallah SAW tidak berhubungan dengan thawaf, sa'i, dan sebagainya itu. Tapi, justru yang ada hubungannya dengan pergaulan dengan sesama jamaah yang sama-sama beribadah, seperti menebarkan salam dan memberikan pertolongan. Bila riwayat ini dianggap dhaif, kita masih bisa menyimak sunnah Rasul saat melakukan ibadah haji. Bagaimana sikap tawadhu', kemurahan, kelembutan, dan hal-hal lain yang menunjukkan penyerahan diri beliau sebagai hamba kepada Tuhan dan tepo sliro beliau kepada sesama hamba-Nya.
Boleh jadi, semangat yang menggebu-gebu untuk mendapatkan kemabruran tanpa memahami makna kemabruran itu sendiri dapat menyeret jamaah haji kepada sikap egois dan mau 'menang sendiri'. Lihatlah mereka yang berusaha mencium Hajar Aswad itu, misalnya. Alangkah ironis. Mencium Hajar Aswad paling tinggi hukumnya adalah sunnah, tapi mereka sampai tega menyikut saudara-saudara mereka sendiri kanan kiri. Bagaimana berusaha melakukan sunnah dengan berbuat yang haram? Jangan-jangan, dalam banyak hal lain, kita juga hanya mengandalkan semangat yang menggebu dan mengabaikan pemahaman. Masya Allah.
Nah, jika ingin haji mabrur, jagalah hubungan baik dengan Allah dan dengan sesama hamba Allah. Selamat beribadah! Semoga benar-benar mabrur!
Sumber : KH. A. Mustofa Bisri, Pengajar di Pondok Pesantren Taman Pelajar Raudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah.
baca juga kerja keras adalah energi kita
Stay cool in http://newmasgun.blogspot.com
kapan ya bisa naek haji..
ReplyDelete