Sahabat, dokter wajib memberi tahu pasien mengenai kandungan yang terdapat di dalam obat. Pemberitahuan tersebut tidak hanya mencakup zat aktif yang menyembuhkan sakit yang diderita, tetapi juga ada tidaknya kandungan babi dalam obat yang diresepkan.
Pemberitahuan ini akan menjadi rekomendasi untuk pasien bila ternyata obat tersebut mengandung babi. "Dokter tentu saja harus memberi tahu apa saja yang terkandung di dalamnya, Termasuk bila ada alternatif lain dan dampaknya. Nantinya pasien yang akan memutuskan mau atau tidak menggunakan obat tersebut," kata Ketua Bidang Kajian Obat dan Farmakoterapi Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI), dr Masfar Salim, MS, SpFK, pada temu media di Jakarta, Kamis (12/12/2013).
Hal ini dikatakan Masfar menanggapi munculnya kekhawatiran sebagian masyarakat pada kandungan obat yang kerap diresepkan untuk suatu penyakit. Keresahan disebabkan adanya kandungan atau unsur babi pada obat yang dikonsumsi. Padahal, masyarakat Indonesia dengan mayoritas Muslim mengharamkan konsumsi hewan tersebut.
Lebih jauh, Masfar menjelaskan, suatu obat tidak dihasilkan dengan proses sebentar. Dibutuhkan waktu berbilang tahun dan dana yang tidak sedikit untuk menghasilkan satu macam obat. Bahan baku obat juga tidak semuanya bisa diperoleh dari bahan di luar babi. Padahal, ramuan obat tidak berhasil jika kekurangan satu macam saja bahan baku.
Masfar mencontohkan enzim tripsin yang digunakan sebagai katalisator. Katalisator adalah zat yang digunakan untuk mempercepat reaksi tanpa zat tersebut ikut bereaksi. Enzim ini juga berguna sebagai komponen yang memudahkan pencampuran antar-komponen obat. Tripsin dengan kualitas baik, sampai saat ini, masih diperoleh dari pankreas babi.
Tripsin memang bisa dihasilkan dari sapi. Namun, kualitas tripsin sapi tidak sebaik yang berasal dari babi. Akibatnya, obat tersebut besar kemungkinannya gagal diproduksi. Kegagalan produksi obat tentu akan menimbulkan permasalahan bagi kesehatan masyarakat Indonesia.
Bila berkaca dari situasi ini, menurut Masfar, tidak pada tempatnya bila mempersoalkan status kehalalan obat. "Kalau masyarakat takut dan khawatir lantas beralih pada pengobatan alternatif, apa malah tidak berbahaya? Kandungan zat aktif dan efektivitas pengobatan alternatif belum terbukti secara empiris. Risikonya sangat besar bila masyarakat justru memilih pengobatan yang belum teruji kelayakannya (evident base)," katanya.
Meski begitu, lanjut Masfar, dokter tidak berada dalam posisi menghalalkan atau mengharamkan suatu obat. Hal ini menyebabkan dokter wajib memberi tahu pasien apa saja kandungan dalam obat tersebut walau pada beberapa obat, kata Masfar, sudah dituliskan kandungan babi dalam kemasannya.
"Dokter dalam pengobatan hanya sebagai pengguna, bukan sebagai produsen layaknya farmasi. Namun, tetap saja kita akan memberitahukan kepada pasien apa saja yang menjadi kandungan obat. Selanjutnya pasien yang nantinya akan memutuskan," kata Masfar.
Mudah-mudahan bermanfaat.
Sumber : Rosmha Widiyani (Kompas health)
Stay cool in http://newmasgun.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment