Sahabat, penulis Yahudi pada era 1960-an, Yehoshafat Harkabi, berterus-terang teror memang bagian inti dari kebijakan pertahanan dalam negeri dan politik luar ngeri Israel. Dalam bukunya “Arab Strategies and Israel’s Response” (New York, 1977), Harkabi menggambarkan tiga cara berpikir orang Arab dalam memandang masalah Palestina.
Ada kelompok yang ingin mengusir Yahudi dari Palestina sampai musnah, menekan gerakan Zionis agar sebatas normal, atau melanjutkan perlawanan di tengah dominasi Yahudi. Ketiga sikap bangsa Arab itu mewujud dalam strategi perang mereka sepanjang periode: 1949-1967, 1967-1973, dan pasca 1973. Perang Oktober 1973 yang bertepatan dengan bulan Ramadlan saat itu mencapai titik kritis bagi Israel, ketika benteng Bar Lev di Tel Aviv nyaris diruntuhkan, namun berhasil dicegah oleh menlu AS Henry Kissinger yang terkenal sebagai Yahudi totok.
Demi menghadapi strategi bangsa Arab itu, para penentu kebijakan Israel terbelah. Ada yang menempuh jalan damai, yang dilambangkan dengan burung merpati (dovish school), ada pula yang menempuh jalan kekerasan dilambangkan burung elang (hawkish school). PM Israel Ehud Barak yang masih keturunan bangsa Arab (Yahudi sephardim) dinilai cukup moderat.
Sementara Sharon dan Begin (Yahudi askhenazim) terkenal teroris berdarah dingin, sebab mereka berani mengorbankan sesama Yahudi yang kebetulan berasal dari Timur Tengah atau Afrika hitam, demi memancing emosi Yahudi-Zionis yang terdiaspora. Seperti insiden menjelang kemerdekaan 1948, tatkala sebuah kapal Yahudi tenggelam – baca: sengaja ditenggelamkan! – untuk menarik simpati dunia, bahwa bangsa Yahudi perlu sebuah tempat yang aman di Palestina.
Adagium Begin dan Sharon adalah: “Sebuah bangsa (Yahudi) tanpa tanah air akan mendiami tanah air tanpa bangsa (Palestina)”. Palestina diyakini sebagai “tanah kosong” yang dijanjikan Tuhan (The Promised Land) khusus untuk bangsa Yahudi.
Harkabi menyebut golongan ketiga di Israel yang memakai kedok perdamaian, tapi sesungguhnya menyimpan dendam perang, elang yang berwajah merpati (hawkish-dovish). Hal itu mungkin pas untuk menggambarkan sikap Shimon Peres,
Menlu Israel yang pernah mendapat nobel perdamaian bersama Arafat. Ingat saja bagaimana komentar Peres, ketika peristiwa penghancuran gedung World Trade Centre terjadi. Peres mengingatkan, agar terorisme di mana saja harus dihabisi.
Sebuah isyarat agar AS tidak menghalangi, jika Israel akan menghantam basis perlawanan rakyat Palestina. Bahkan, kini berkembang teori yang cukup argumentatif, bahwa tragedi WTC “sebenarnya” adalah ulah Yahudi untuk mengalihkan perhatian dunia dari rencana mereka “mengusir tuntas” rakyat Palestina.
Palestina wajib diselamatkan, bukan saja karena di sana terletak Masjid al Aqsha, tanah suci ketiga bagi kaum Muslimin, melainkan juga untuk membongkar kepalsuan Zionis-Yahudi yang telah dipercaya sebagian besar bangsa di dunia.
Biarlah anak-anak Intifadlah dan pemuda-gadis bom “mati syahid” yang akan menjadi saksi, bahwa kebenaran tidak bisa dibungkam, hatta dengan tank lapis baja dan tembakan rudal. Jika, dengan kehendak Allah, Israel dapat dihalau dan ditaklukkan di tanah jajahan mereka sendiri, maka tatanan dunia akan berubah drastis.
Sumber : Islampos.com
Stay cool in : http://newmasgun.blogspot.com/
No comments:
Post a Comment