Saturday, February 19, 2011
Cinta Luar Biasa Dari Lelaki Biasa
Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan kenapa dia mau menikah dengan lelaki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata miliknya, melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, kakak-kakak, tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya.
Kenapa? Tanya mereka di hari Nania mengantarkan surat undangan.
Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi. Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu.
Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon limabelas watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yg barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana . Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata!
Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama terjadi tiga bulan lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Aris an keluarga Nania dianggap momen yang tepat karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kakak-kakaknya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka.
Kamu pasti bercanda!
Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kakak tertua, disusul senyum serupa dari kakak nomor dua, tiga, dan terakhir dari Papa dan Mama membuat Nania menyimpulkan: mereka serius ketika mengira Nania bercanda.
Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania!
Nania serius! tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya.
Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik!
Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.
Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan ? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabannya tidak harus iya, toh?
Nania terkesima.
Kenapa?
Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik.
Sebab kamu paling berprestasi dibandingkan kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seprovinsi. Suaramu bagus!
Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau!
Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, kakak-kakak, dan terakhir Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata ‘kenapa’ yang barusan Nania lontarkan.
Nania Cuma mau Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang di kelopak.
Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekadar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah.
Tapi kenapa?
Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yg amat sangat biasa.
Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya.
Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania!
Cukup!
Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Di mana iman, di mana tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaiannya hari ini?
Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak ‘luar biasa’. Nania Cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntun Nania menapaki hidup hingga umur duapuluh tiga. Dan nalurinya menerima Rafli. Di sampingnya Nania bahagia.
Mereka akhirnya menikah.
***
Setahun pernikahan.
Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia lihat dari Rafli. Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka.
Nania hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakannya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia.
Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania.
Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan.
Ketiga saudara Nania hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.
Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantikmu! Kamu adik kami yang tak hanya cantik, tapi juga pintar! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar, dan punya kehidupan sukses!
Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli.
Beberapa lama keempat adik dan kakak itu beradu argumen.
Tapi Rafli juga tidak jelek, Kak!
Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan ?
Rafli juga pintar!
Tidak sepintarmu, Nania.
Rafli juga sukses, pekerjaannya lumayan. Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu.
Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kakak-kakaknya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma.
Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli!
Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu.
Teganya kakak-kakak Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.
Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang.
Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkap hanya maksud baik..
Sebaiknya Nania tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakkan otak dan membuat pikiran Nania cerah.
Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia!
Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan menjadi tidak penting.
Menginjak tahun ketujuh pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak!
Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudara Nania, bisik Papa dan Mama.
Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik.
Cantik ya? dan kaya!
Tak imbang!
Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustrasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tidak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagia yang kian membukit dari hari ke hari.
Tahun kesepuluh pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ketiga. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.
***
Bayi yang dikandung Nania tidak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya.
Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan!
Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukkan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat si kecil.
Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat di sisi tempat tidur. Sementara kakak-kakak serta orangtua Nania belum satu pun yang datang.
Anehnya, meski obat kedua sudah dimasukkan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukkan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit sudah dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali.
Baru pembukaan satu. Belum ada perubahan, Bu. Sudah bertambah sedikit, kata seorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.
Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi.
Tigapuluh jam berlalu. Nania baru pembukaan dua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset.
Masih pembukaan dua, Pak! Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya. Kondisi perempuan itu makin payah. Sejak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya.
Bang? Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan.
Dokter?
Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar.
Mungkin? Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu? Bagaimana jika terlambat?
Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.
Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan ketrampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan di sekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri.
Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan zikir.
Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat.
Pendarahan hebat!
Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis.
Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka.
Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, ada rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker.
Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.
***
Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah oleh membawanya pulang.
Mama, Papa, dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka ke rumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli.
Lelaki itu sungguh luar biasa. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah sakit, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan izin penuh. Toh, dedikasi Rafli terhadap kantor tidak perlu diragukan.
Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakannya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan penampilan sederhana itu bercakap-cakap dan bercanda mesra..
Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya.
Nania, bangun, Cinta? Kata-kata itu dibisikkannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik.
Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawakan buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacanya dengan suara pelan. Memberikan tambahan di bagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik,
Nania, bangun, Cinta? Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli.
Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak memedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badannya yang semakin kurus akibat sering lupa makan.
Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.
Pada hari ketigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya.
Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh.
Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi.
Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkannya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.
Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh?
Tapi Rafli dengan upayanya yang terus-menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia. Setidaknya di mata Rafli.
Setiap hari Minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi ke manapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun.
Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania ke sana kemari. Masih dengan senyum hangat di antara wajahnya yang bermanik keringat.
Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat, dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik.
Baik banget suaminya! Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua!
Nania beruntung! Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya.
Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam!
Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakaknya yang tiga orang, Papa dan Mama.
Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustrasi, merasa tak berani, merasa?
Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali selamanya akan selalu begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi?
Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.. Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocak permainan.
Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan. Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna. Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.
Waktu telah membuktikan segalanya. Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania.
Special thanks to : Ahmad Syaifur Rijal
Semoga bisa menjadi hikmah buat kita semua.
Stay cool in http://newmasgun.blogspot.com
Wednesday, January 28, 2009
Cerpen Islami : MANDIKAN AKU BUNDA
Sering kali orang tidak mensyukuri apa yang diMILIKInya sampai akhirnya …..
Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ”Why not the best,” katanya selalu, mengutip seorang mantan presiden Amerika.
Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran.
Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang ‘’selevel”; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.
Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah ”alif” dan huruf terakhir ”ya”, jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.
Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain.
Setulusnya saya pernah bertanya, ”Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal? ” Dengan sigap Rani menjawab, ”Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!” Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter mahal. Rani tinggal mengontrol jadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti.
Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak.
”Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.” Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.
Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ”memahami” orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek.
Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rani menyapanya ”malaikat kecilku”.
Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.
Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter. ”Alif ingin Bunda mandikan,” ujarnya penuh harap. Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut.
Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan. ”Bunda, mandikan aku!” kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga.
Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. ”Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.” Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya.
Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.
Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah tubuh si kecil terbaring kaku. ”Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,” ucapnya lirih, di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.
Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ”Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan?” Saya diam saja.
Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ”Ini konsekuensi sebuah pilihan,” lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak. Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja.
Tiba-tiba Rani berlutut. ”Aku ibunyaaa!” serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang meledak. ”Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..” Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif.
Senja pun makin tua.
baca juga kerja keras adalah energi kita
Friday, January 9, 2009
Cerpen Islami : ELEGI SEBUAH KEPUTUSAN
Di hadapanku kini sedang menangis seorang gadis bernama Dewi, pacarku yang hubunganku dengannya telah terjalin selama delapan bulan. Dalam isaknya yang menurutku begitu cengeng, ia memintaku untuk tidak mem-PHK-nya dari jabatan sebagai seorang pacarku.
“Jangan putusin Dewi ya, Andri...” Ujarnya sambil terisak.
Aku mengambil sebuah gelas yang terletak di atas meja yang memisahkan aku dan Dewi saat ini, kemudian meneguk airnya beberapa tegukan.
“Hhh… Dewi…” Ujarku setelah selesai aku minum. “Kenapa sih cuma sama kegiatan-kegiatanku aja kamu sampe cemburu?” Lanjutku sembari menaruh gelas itu kembali ke samping sebuah piring yang berisi nasi goreng hidangan Cafe Yayang yang sebenarnya telah dihidangkan dua menit yang lalu kepada kami berdua. Namun selera kami belum bangkit untuk segera menikmatinya.
“Kalau kegiatan-kegaitanmu selama ini bisa menjauhkan aku dengan kamu, jelas aku cemburu.” Jawabnya.
Aku menunduk sambil menghisap nafas dalam-dalam, mencari jawaban yang tepat untuk kusampaikan pada Dewi, yang aku mengenalnya melalui sebuah perjumpaan yang sangat modern, melalui chating.
Mulanya hanya main-main saja ketika aku men-double klik sebuah nama yang terpampang di channel #Padang, yang menurutku cukup unik, ce-elok. Maka obrolan melalui ruang maya yang menjadi awal perkenalanku padanya pun dimulai setelah aku menuliskan kalimat, “He jangan ngelamun, elok-elok kok ngelamun. Beko kok lah tasapo baru tau raso.”
Percakapan mulai seru ketika setelah kami menyerahkan data asl (age, sex, location) kami masing-masing, kami menemukan kesamaan umur dan tempat. Hanya jenis kelamin saja yang berbeda. Selanjutnya humor-humor segar mengalir melalui komputer kami masing-masing Dan begitulah, terjadi jawab menjawab antara kami hingga ketika sudah saatnya bagiku untuk gtg (Get to go), aku meninggalkan emailku padanya yang ketika tiga hari kemudian aku kembali ke warnet untuk memeriksa emailku, rupanya telah ia kirim sebuah surat perkenalan.
Email darinya kiranya terus datang setelah aku meladeni satu-persatu email-emailnya yang masuk padaku. Mulanya isi surat-surat elektronik kami hanyalah berupa perkenalan identitas diri saja seperti apa hobi, kegiatan, sampai binatang peliharaan kami. Namun yang terjadi selanjutnya rupanya tidak cukup sebatas perkenalan diri semata.
Yang membuatku heboh – meski ini sudah ku duga sebelumnya – ia meminta fotoku. Maka dengan berbekal PeDe yang cukup tinggi, aku kirim sebuah fotoku yang paling gagah, foto ketika aku berhasil menaklukan puncak gunung Merapi (Gunung Merapi yang terletak di Sumatera Barat). Dan ia pun balas memberikan foto, sebuah foto yang menggambarkan seorang gadis cantik di sebuah taman bunga yang entah di mana, aku tak tahu. Aku tak mengira, ia begitu cantik. Sesuai dengan nicknya selama ini, ce-elok.
Perkenalan kami rasanya tanggung sekali rasanya kalau tidak ada kopi darat. Maka kopi darat antara kami terjadi di sebuah kafe yang bernama Café Yayang yang tak jauh dari rumahnya di Lapai – daerah terkenal di Padang – pada sabtu sore di mana saat itu ia datang dengan mengenakan baju merah mawar yang makin mempercantik dirinya.
Kopi darat hanyalah gerbang menuju perjumpaan rutin selanjutnya yang selalu sama, tempat dan saatnya. Kadang kami juga bertemu di warnet tertentu untuk bermain internet bersama-sama.
Besarnya frekuensi pertemuan kami menyebabkan kami pun sepakat untuk menjalin hubungan yang lebih dekat: pacaran. Maka dua bulan sebelum Ebtanas, kami telah berjanji di Cafe Yayang pada suatu sore di hari sabtu untuk – yang kata remaja saat ini – ‘jadian’.
Begitulah, hubungan pacaran kami lancar-lancar saja sampai ketika hasil UMPTN diumumkan dan hasilnya aku lulus di matematika Universitas Andalas, sedangkan ia lulus di Sastra Inggris Universitas Negeri Padang. Perbedaan kampus tak menghalangi pacaran kami karena toh selama ini kami juga beda sekolah.
Waktu terus bergulir, perlahan aku mulai tertarik untuk aktif di organisasi di kampus ini. Semua kegiatan dari setiap organisasi di MIPA ini telah aku ikuti. Dan karena kawan-kawan di jurusanku banyak yang ikut Forum Studi Islam, maka berbekal ikut-ikutan, aku mulai rajin mengikuti kegiatan FSI itu.
Kegiatan-kegiatan itu benar-benar menambah pengetahuan agamaku. Bahkan aku mulai mengerti aturan Islam mengenai pergaulan laki-laki dan wanita.
Sebabnya kegiatan-kegiatan itu begitu menyita waktuku – hingga aku tak sempat lagi ke warnet dan menelepon Dewi, maka kegiatan-kegiatan itu diprotes oleh Dewi kini.
“Andri… Andri janji ya sama Dewi, jangan cuekin Dewi lagi.” Kali ini suara Dewi memecah hening di antara kami.
Isak Dewi masih persatu. Untung saja tak begitu banyak orang di Café ini, hanya lima meja termasuk meja kami yang tertempati oleh pengunjung yang semuanya aku perhatikan sedang… pacaran. Ups, aku mulai muak melihat kegiatan yang kusebut barusan belakangan ini.
“Oke deh Dewi, aku nggak kan mutusin kamu. But, aku nggak suka aja kalau kamu sering cerita-cerita masalah kamu sama aku.”
“Cerita-cerita masalah?”
“Iya, emangnya aku psikolog kamu?”
“Andri… kok sepertinya nggak ada hubungannya dengan pembicaraan kita selama ini? Aku tuh mempermasalahkan kegiatan kamu itu. Sampe-sampe kamu mau mutusin aku karena kamu sibuk. Nggak ada hubungannya dengan kebiasaan aku suka ngadu masalah-masalah aku ke kamu”
“Yaa gitu. Kalo kamu nggak mau diputusin, kamu harus rubah kebiasaan kamu. Kamu nggak boleh lagi mengeluh di hadapan aku.”
Tampak olehku dahi Dewi berkerut tanda kebingungan mendengar ucapan-ucapanku.
“Cuma dengan tidak lagi mengeluh di hadapan kamu, kamu nggak akan mutusin aku?” Tanyanya.
“Iya, emangnya kenapa?”
“Lalu kegiatan-kegiatan kamu?”
“Tetap jalan. Dan aku akan berusaha untuk tetap merhatiin kamu.”
“Apa gara-gara aku sering ngeluh kamu jadi cuekin aku?”
”Nggak.”
“Lho, jadi… Gimana sih maksud kamu.”
“Aku ingin kamu ngaduin masalah-masalah kamu ke Uni Irna.”
“Uni Irna kakak mu? Memangnya kenapa?”
“Yah gitulah. Aku cuma pengen kamu dekat dengan kakakku. Mudahkan? Kamu kan satu kampus dengan Uni Irna. Tapi itu kalau kamu mau. Kalau nggak, ya mungkin aku harus konsentrasi ke kuliah dan organisasiku. Pacarannya nanti aja kalau aku sudah nikah nanti.”
“Pacaran kalau sudah nikah? Ih, aneh deh kamu Andri. Ya sudah, kalau itu syarat dari kamu, aku akan berusaha untuk dekat dengan kakakmu.”
Aku melempar senyum keluar, pada hujan yang sudah agak reda meski rintik-rintik tipis masih ingin bercanda pada kulit bumi.
*****
Langkah dipercepatku menjamahi trotoar di bahu jalan Sudirman – Jalan di mana warung internet langgananku berada – ketika matahari satu jam lagi tertelan langit barat. Berikutnya setelah aku sudah berada di depan warnet Idola, aku bergegas ke dalam mencari bilik yang kosong yang – AlhamduliLlah – langsung aku temukan. Segera pada komputer yang ada dibilik itu, aku double klik icon internet explorer dan kuketik www.muslimmuda.com – web site tempat aku mendaftarkan email – pada addres di layar explorer yang telah muncul.
Langkah selanjutnya adalah aku mencari email balasan dari Dewi di kotak inbox. Dan email yang aku cari itu aku temukan.
Email itu berisi tentang penerimaannya terhadap permintaan maafku yang kukirim melalui email tiga hari yang lalu. Janji kencan di Café Yayang pada sabtu sore kemarin terpaksa aku batalkan sepihak karena ada acara mabit (menginap) yang diadakan di Masjid Nurul ‘Ilmi dan waktunya pun dimulai pada Sabtu sore.
Pemaklumannya itu membuatku terkejut. Biasanya ia akan marah padaku dan dengan manja memintaku untuk memperhatikannya sebagai layaknya orang pacaran. Bukan cuma itu saja yang membuatku terkejut. Ia juga bercerita kalau ia makin dekat saja dengan Uni Irna. Ia mulai merasakan kelembutan Uni Irna yang menyentuhnya pada setiap kali ia mengadu masalah-masalah yang ia hadapi kepada Uni Irna. Ia juga bercerita kalau sebentar lagi ia akan mengenakan jilbab, sebagai suatu realisasi nasihat-nasihat Uni Irna selama ini. Jelas sekali dari suratnya, Uni Irna memiliki pengaruh yang besar sekali pada diri Dewi.
Dalam pada itu, riak-riak kekhawatiran menerpa dinding hatiku. Di satu sisi, siasatku untuk mendekatinya pada Uni Irna telah berhasil. Di sisi lain, mulai timbul ketakutan pada diriku ketika ia pada akhirnya memutuskan aku secara sepihak.
Azzamku luruh oleh nafsu yang lupa aku belenggu ketika aku mulai mengetik sebuah surat yang berisi permohonan agar ia juga tidak lupa memperhatikan aku, dan tidak sampai memutuskan aku setelah ia dekat dengan Uni Irna.
*****
Jarum jam di dinding Café Yayang membentuk 120 derajat dengan Jarum pendek menunjuk ke angka delapan setelah bel jam itu berbunyi delapan kali. Aku duduk sendiri di meja dekat pintu masuk, ditemani tempias hujan yang memeluk aku yang menanti Dewi selama satu jam ini.
Rasa bosan mendekapku erat bersama rasa kesal yang menggerogoti rasa kangen pada Dewi. Sementara nasi goreng yang sudah begitu lama terhidang baru aku makan setengahnya.
Tanpa nada yang teratur, aku mengetukkan jari-jariku di atas meja. Dan setelah lima menit waktu beranjak dari delapan tepat, tanpa menghabiskan nasiku aku beranjak dari Café tersebut, kemudian menembus gerimis malam menuju sebuah warnet terdekat.
Dengan niatan ingin memarahi Dewi melalui email – karena malam ini ia telah mengingkari janjinya dan belakangan ini ia tidak pernah lagi meneleponku, aku membuka emailku setelah sebuah komputer yang tadinya menganggur aku ambil alih. Aku tak salah untuk kesal padanya. “Bukankah dahulu ia yang mengemis-ngemis padaku agar aku tidak memutusinya?” Pikirku.
Terlebih dahulu aku membuka kotak surat yang sudah seminggu ini tidak aku buka karena sibuk. Dan setelah inbox terbuka, sebuah surat bersubject “Maafkan Dewi” yang mengejutkan aku, langsung aku buka.
Assalamualaikum wr. wb.
Andri, maafkan Dewi kalau surat ini membuat Andri sedih, kesal, atau marah pada Dewi. Tapi Dewi rasa, Andri tidak akan sampai seperti itu. Karena bukankah Andri sendiri yang sengaja mendekatkan Dewi pada Uni Irna?
Andri, setelah Dewi mengenal Uni Irna lebih dekat, Dewi mulai mengenal keindahan Islam. Uni Irna selalu menjawab dengan bijak kesedihan-kesedihan Dewi. Dewi diperkenalkan pada sebuah trouble solver yang bernama Islam. Dewi jadi sadar, betapanya agama yang Dewi anut selama ini begitu Dewi acuhkan sehingga keindahan-keindahannya tidak dapat Dewi nikmati.
Dewi juga diajak untuk ikut kegiatan-kegiatan Islam di kampus. Sama seperti kamu, Dewi pun lama-lama mulai tertarik dengan kegiatan keislaman. Kegiatan keislaman itu sedikit banyak makin menambah luas pengetahuan keislaman Dewi.
Dewi juga ikut kajian mingguan yang ada di kampus. Pokoknya, Uni Irna sukses membuat Dewi aktif di setiap kegiatan keislaman.
Hingga akhirnya pada suatu saat di sebuah acara keislaman, Dewi mendengar bahwa Islam tidak mengenal pacaran. Pada mulanya Dewi ragu, Ndri. Tapi Uni Irna berhasil meyakinkan Dewi. Dan dari Uni Irna lagi, rupanya kamu juga udah tau kalau pacaran itu dilarang dalam Islam.
Begitulah Andri, Dewi akhirnya punya keberanian untuk memutuskan hubungan kita. Toh rupanya syarat kamu agar Dewi dekat dengan Uni Irna bertujuan supaya Dewi siap kalau suatu waktu kamu memutuskan hubungan kita.
Andri, insya Allah, kalau Allah menghendaki pacaran kita ini akan tetap berlanjut. Tapi nanti Ndri, ketika kita sudah diresmikan oleh penghulu. Tapi selama kita belum resmi, kita berlindung saja kepada Allah dari cinta yang berasal dari nafsu.
Mudah-mudahan masing-masing kita mendapatkan pasangan yang terbaik yang pilihan Allah.
Wassalamualaikum wr. wb.
Dewi
Seketika kurasakan sekujur tubuhku menjadi lemas. Aku telah kedahuluan olehnya.
Ket : Beko kok lah tasapo baru tau raso : Nanti kalau sudah kesurupan baru tahu rasa
Cerpen Islami : Cantik Itu Wanita
Sabtu lalu, kami sekeluarga berencana pergi ke Tangerang. “Kangen sama nenek,” kata si kecil Iqna. Maka lima menit sebelum pukul 06.00 pun semua sudah mandi dan berpakaian rapih, kecuali Iqna yang masih sibuk memilih pakaian mana yang akan dikenakannya. Sepuluh menit kemudian, pakaian pilihannya sudah dikenakan, tetapi, “Kok dede nggak pakai kaos dalam?” tanya Umminya.
“Nggak mau” jawabnya singkat.
“Nanti masuk angin kalau nggak pakai kaos dalam”, “Ummi marah deh kalau dede nggak pakai kaos dalam”, “Teteh aja pakai kaos dalam”, “Jelek dede…”, Itu beberapa kalimat yang digunakan isteri saya untuk merajuk Iqna agar mau pakai kaos dalam. Semua rajukan itu hanya mendapat jawaban singkat penuh keteguhan, “nggak mau”.
Bahkan, satu ancaman pun terpaksa terlontarkan, “Kalau dede nggak mau juga, mending nggak usah ikut. Dede dengar ummi ya…”. Sementara yang diancam tetap tidak bergeming dengan pendiriannya. Mungkin ia tahu persis bahwa tidaklah mungkin ditinggalkan. Mungkin juga isteri saya lupa –karena kesalnya- bahwa ancaman tidak akan pernah efektif dipakai dalam berkomunikasi dengan anak-anak. Orang tua mana yang tega sengaja meninggalkan anaknya yang masih balita sendirian di rumah?
Akhirnya, isteri saya pun menyerahkan ‘urusan’ kaos dalam itu kepada saya yang sejak tadi tersenyum memerhatikan celoteh pagi ibu dan anak itu. Kemudian, saya menghampiri Iqna, menggendongnya dan membisikkan sesuatu. Hanya dalam hitungan detik, si dede pun berlari ke kamarnya serta mengambil kaos dalam dan mengenakannya.
Saya berikan senyum ‘kemenangan’ ke arah isteri. Namun ditanggapi ledekan, “Ah, paling-paling dijanjikan beli es krim sama Abi…” jelas ia tak mau kalah begitu saja. “Siapa yang nggak nurut kalau setiap kali harus diiming-imingi jajanan,” tambah si manis.
Sebenarnya, prasangka isteri saya itu tidak benar. Saya tak mengimingi Iqna dengan es krim atau makanan kesukaannya yang lain. Pun tak menjanjikan sejumlah uang hanya untuk meluluhkan hatinya agar mau mengenakan kaos dalam. Sungguh, ini hanya soal komunikasi yang sering dianggap remeh. Kepada siapa berkomunikasi, apa konten komunikasinya dan bagaimana situasi serta waktu saat berkomunikasi.
Faktanya, pagi itu Iqna memang tetap pada pendiriannya tidak mau mengenakan kaos dalam. Saya berbagai rahasia kepada isteri, apa yang saya bisikkan kepada Iqna sehingga ia mau mengenakan kaos dalam. “Abi cuma bilang, Iqna pasti lebih cantik kalau pakai kaos dalam. Coba deh…”.
Muncul rasa penarannya untuk membuktikan, benarkah pernyataan saya bahwa ia akan lebih cantik kalau pakai kaos dalam. Setelah ia kenakan, saya langsung serang ia dengan pujian, “Wah, dede cantik sekali. Tuh benarkan Abi bilang, dede jauh lebih cantik,” ia pun tersipu malu.
Belum sempat ia berkomentar, saya minta dukungan isteri, “Ummi lihat deh, dede lebih cantik kan?” Isteri pun berujar, “Ya jelas donk, itu baru anak Ummi”.
Matanya terus berbinar mendapatkan pujian, senyumnya tak tertahankan. Ya, Iqna akhirnya mau mengenakan kaos dalam hanya karena kami tahu bagaimana berkomunikasi dengannya. Iqna itu wanita, dan wanita itu identik dengan kecantikan. Sentuhlah ia pada hal-hal yang dekat dengan identitasnya. Coba deh … (gaw)
* hikmah dari blog tetangga, maaf lupa lagi alamat blognya jadi tidak dicantumkan.
Wednesday, January 7, 2009
Cerpen Islami : Pemakaman (Karunia Hidayah)
Tanganku masih sibuk menyuapi Shibghah dengan telur setengah matang, kemudian baru kusadari kalau Yasir, suamiku, belum juga menjawab pertanyaanku. Aku menoleh penuh rasa ingin tahu.
"Abi, bagaimana Bi?" tanyaku hati-hati.
"Kita akan datang kan, semua...?" kataku ragu-ragu.
Yasir masih diam, tangannya melipat-lipat surat yang habis dibaca, kemudian memandangnya tertegun. Aku membalas tatapannya, mengharapkan kelapangan hatinya. Namun yang kutemui hanya pendar-pendar keraguan semata. Hilang harapanku sudah, dan memilih diam. Malamnya waktu kami hendak makan, kulihat suamiku asyik bercanda dengan kedua pasukan kecilku; Shibghah, yang kadang-kadang kupanggil si Buyung, dan Zaid, aku membiasakan Shibghah memanggil kakaknya dengan 'Abang'. Dalam ketenangan, aku menyendokkan nasi ke dalam piring Yasir, serta meletakkan sepotong rendang dan sayur. Dan kepada kedua mujahidku, aku memanggil mereka untuk segera duduk. Zaid telah pandai melayani diri sendiri, sedangkan Shibghah masih harus kusuapi.
"Salikha...!" panggil Yasir tiba-tiba.
"Apa kau benar-benar ingin menghadiri pemakaman Nenek Fong?"
Aku tertegun sesaat. Kukira, dengan diamnya Yasir tadi siang, berarti dia sudah tak ingin membicarakan masalah itu lagi. Tetapi kini Yasir memulainya lagi.... Aku mendongak menatapnya, dan sedikit ragu-ragu kuanggukkan kepala.
"Kalau Abi ijinkan, ya, Bi. Aku ingin pergi. Dan sebenarnya bukan karena sekedar pemakaman Nenek Fong saja, tetapi Mami.... Aku sudah lama sekali tak menengok Mami. Hampir setelah Buyung lahir. Dan aku masih berharap Mami akan berubah."
Oh! Lega rasanya hatiku, telah mencetuskan perasaan ini. Yasir memandang ke arah lain. Lalu perlahan berkata, "Ya sudah, pergilah. Tetapi aku tidak ikut, anak-anak juga jangan...."
Hah?! Aku tercekat. Kalau begitu, sama halnya dengan Yasir tidak mengijinkan aku pergi. Aku tak dapat membayangkan kehadiranku di tengah keluarga besar Cina-ku. Dan aku harus datang sendiri ... Tiba-tiba saja, wajah mereka sudah terbayang di pelupuk mata. Helen, Mamiku pasti akan menegurku dengan heran. "Haiy-ya! Shau-Ning, mana suamimu dan anak-anakmu?"
Lalu Bun Heng, kakak laki-laki pertamaku, dia pasti akan tertawa sambil memandangku sinis. "Bertahun-tahun kawin, suamimu cuma bisa memberikan kain penutup kepala botakmu!!"
Oh, tidak!! Aku tak ingin pergi! Aku tak mampu membayangkan kehadiranku sendiri. Tanpa Yasir, tanpa anak-anak. Tanpa terasa, sebutir air mata menitik diam-diam ketika aku bersujud, saat shalat Isya. Ya Allah, aku tidak ingin dikatakan sebagai anak durhaka, tetapi aku pun tak mau menjadi isteri yang dilaknat suami. Maka, ya Allah, hindari aku dari dilema ini. Engkaulah Maha Pembolak-balik hati. Dan ketika pergi tidur, pertanyaan lama kembali menggaung di ruang hati. Mami..., Mami, kenapa hatimu begitu keras?
Sore-sore sekitar pukul 3.00, kedua anakku sudah rapi dan caem-caem. Zaid dan Shibghah begitu riang bermain pedang-pedangan di teras samping. Dengan begitu aku dapat mudah mengawasi mereka, sambil menyetrika baju. Ketika kudengar derum mobil memasuki garasi, hatiku mendadak berdebar keras. Ramai suara anak-anak menyongsong Abi mereka. Dan langkahku cepat meluncur ke pintu.
"Assalamu'alaikum...," Yasir begitu menjulang di ambang pintu.
"Wa'alaikumus salam..," jawabku. Dan segera meraih tas di tangannya.
"Salikha?" panggilnya.
Aku menoleh padanya, dan merasa bingung mendapati tatapannya yang penuh heran.
"Kau tidak jadi pergi, Salikha?"
Aku menggeleng keras. "Tidak, Bi...," jawabku pelan. Lalu memutar langkah ke dapur. Dalam sekejap segelas susu hangat yang segar siap terhidang. "Aku tak mau jadi isteri yang dilaknat suami, Bi. Aku tidak mau pergi, kalau sebenarnya Abi tidak betul-betul mengijinkan...," jawabku perlahan sekali.
"Bi, susunya, Bi...."
Yasir duduk di hadapanku. Kedua tangannya menangkup di atas tanganku. Dengan sendirinya aku jadi mendongak, dan kutemui sorot mata jenaka dari kedua matanya. "Tetapi kaudandani Buyung serta Abang, seperti hendak bepergian...", godanya. Mau tak mau, aku jadi ikut tersenyum pula.
"Salikha. Siapa sebenarnya yang paling ingin kau temui?"
"Mami...," jawabku serasa tercekik. Dan tanpa dapat kutahan, setetes embun turun bergulir dari kedua sudut mataku. "Nenek Fong meninggal dalam usia 75 tahun. Sedang Mami, kini telah 45 tahun. Betapa inginnya aku dekat kembali, serta membimbing beliau di hari tuanya."
Yasir menghapus pipiku yang basah.
"Salikha...," panggilnya lembut.
"Pergilah."
Aku kembali menatapnya bimbang.
"Tentu! Tentu berdua denganku, dong...."
Oh! Alhamdulillah. Terima kasih, ya Allah.
"Kau yang setir ya..., aku capek."
Aku mengangguk. Insya Allah, Yasir dapat memahami sorot mataku yang begitu menyayanginya, dan terharu dengan ketulusannya.
Waktu sampai di rumah Bibi Nio Hian, rumah duka itu sudah begitu ramai. Tentu saja kehadiranku jadi pusat perhatian. Seorang wanita muda bermata sipit, dengan jilbab putih yang berkibar; lalu ada Yasir melangkah di sisiku serta anak-anak mengapitku. Ah, aku tak peduli!!
"Barangkali sebaiknya anak-anak tak usah ikut ke dalam?" kata Yasir sekeluar dari mobil, "Atau mereka tunggu di mobil bersamaku...."
"Tidak apa-apa, petinya sudah tidak ada kok," kataku.
"Baiklah, tetapi Maghrib kita harus sudah pulang."
Ketika kami masuk, sepupuku Mary memberi kain putih untuk kami kenakan di pergelangan tangan. Aku merasa serba salah, karena harus pura-pura berduka. Dan juga merasa bersalah pada Yasir, hingga akhirnya kukantongi saja kain putih itu. Bao bao menyambut kami dengan senyum lebar, lalu memberi kami masing-masing sebungkus permen dan seamplop merah berisi uang.
"Apa yang harus kita lakukan?" bisik Yasir.
"Aku pun tak tahu," jawabku singkat.
"Kata Mamiku," Bao bao nimbrung, "Ini semacam penangkal, kalau-kalau kalian mendapat nasib buruk gara-gara hadir di sini. Makanlah permen itu, dan kelak kau dapat beli keberuntungan lain dengan angpao itu." Sewaktu Bao bao berbalik, cepat kulakukan tindakan pengamanan. Kuminta satu persatu amplop serta permen-permen itu dari kedua anakku.
"Anak sholeh!! Anak sholeh, coba dengarkan Ummi. Ini permen yang ditujukan pada selain Allah. Ini barang haram, tidak boleh dimakan. Kemarikan, berikan itu pada Ummi, Nak...." Alhamdulillah, anakku semua penurut dan mudah diberi pengertian. Hanya Zaid agak merasa sayang dengan amplop uangnya.
"Nak, sayang Ummi.... Dengar! Amplop uang itu juga tak boleh mengotori perutmu. Hayo, berikan pada Ummi, anak sholeh!" tegurku lebih tegas. "Nih lihat! Abi pun memberikannya pada Ummi."
Akhirnya beres juga urusan dengan anak-anak. Ketika kami duduk, Mami mendekatiku tiba-tiba. Ia meremas jemariku, dan kulihat matanya basah. Aku membalas rengkuhannya diam-diam. Bibi Nio Hian tidak menangis, bahkan menegurku. "Kenapa terlambat? Semua menunggu kamu."
Sesungguhnya, aku tak dapat menduga siapa yang Mami tangisi. Kepergian Nenek Fong, ibunya, ataukah kerinduannya padaku. Yang jelas, aku sendiri tak dapat menangis. Ruangan yang kurang cahaya ini begitu ramai dengan suara dan kesibukan orang. Asap dari selusin hio menguap ke udara, mungkin melambangkan anak tangga bagi yang meninggal untuk meniti jalan ke surga. Begitu menurut kepercayaan Cina. Aku semakin merasa bersalah.
Dalam pandangan Yasir, tentu semua penuh kemudharatan. Yasir yang terlahir sebagai anak tunggal, tentu saja tak biasa dengan keluarga besar yang ramai begini. Dan sebagai muslim kami pun merasakan kegersangan suasana. Dari jauh, aku sempat mengamati, ada tiga orang lain yang tak begitu terlibat kesibukan seperti halnya aku dan Yasir. Kalau tak salah mereka adalah Vera, Winnie, dan Bondri, mereka sepupuku semua. Sementara abang, kakak, dan adikku, tampak berjajar di seberang sambil melirikku tak acuh.
Aku merasa sedih dengan sendirinya. Bukan karena adik-kakakku tidak mengacuhkan, tetapi karena Mami seperti tak memberi kesempatan menumpahkan rindu. Karena Mami cepat menghilang dari mataku. Mungkin menurutnya bukan saat yang tepat, di masa duka begini.
Shibghah mulai menangis, merasakan keadaan yang hiruk pikuk dan terasa asing. Sementara Zaid merengek-rengek tak jelas.Yasir menyelamatkan suasana dengan mengajak anak-anak ke luar, bermain di kebun bunga. Sementara aku menyibukkan lisanku dengan dzikrullah. Mataku terpejam dalam tunduk yang dalam. Dan ketika kutengadahkan kepala, tatapanku bersirobok dengan mata Mami.
Rasanya seperti berpuluh tahun yang lalu, ketika aku berdoa bersama-sama jemaat gereja, memohon ampun bagi dosa Papi. Padahal doaku bukan untuk Jesus Kristus, tetapi kepada Allah al-Khaliq. Aku masuk Islam dengan keinginan sendiri, sejak Papi mulai sakit-sakitan. Dan tak seorang pun mengetahui keislamanku. Dan aku tak pernah menangisi kematian Papi!
Tiba-tiba aku terisak, dan aku sendiri tak tahu kenapa. Aku merasa panik dan mencoba menghentikan tangisku, namun tak sanggup. Aku sedih, sekaligus marah. Ya Allah..., laa hawla walaa quwwata illa billah. Tiada daya dan kekuatanku selain dari-Mu, ya Allah.
Mami menatapku. Ia tahu, air mataku bukan untuk Nenek Fong, tetapi untuk Papiku. Mami sudah menantiku menangis begitu lama, lebih dari dua puluh tahun sejak hari pemakaman Papiku. Usiaku 13 tahun, waktu itu ; hatiku penuh kemarahan. Mamiku, adikku dan kakak serta abang, dan aku duduk di sudut, satu setengah jam sebelum upacara pemakaman dimulai. Dan Mami memarahiku, sebab aku menolak menjenguk Papi di dalam peti mati.
"Johan sudah mengucapkan selamat jalan. Johan sudah menangis. Samuel juga, Samuel menangis. Bun Heng, Clara, Tessa, semua sudah!!" katanya gusar.
Aku tidak ingin meratapi pria di dalam peti mati itu. Pria penyakitan yang kurus kering dan resah, yang sering tak mirip Papiku yang dulu : periang, gagah, selalu tertawa dan tahu apa yang harus dikerjakan atau berbuat sesuatu. Dan di mata Papiku, aku hebat, aku adalah "Edna Fong yang sempurna", bukan Edna Fong yang menjengkelkan. Tetapi Papi begitu murka dan memakiku "si pemberontak", waktu tahu aku masuk Islam. Dan sakitnya makin bertambah parah, dan parah....
Mamiku menghapus air matanya, "Mana ada anak yang tidak bisa menangisi Papinya sendiri?!" katanya.
"Biar! Orang itu bukan Papiku, dia kafir!!"
"Diam!! Mami tahu kamu sekarang Islam, tapi jangan teriakkan itu. Nanti kalau Bun Heng dengar, kamu bisa habis dilumatnya !"
"Biaar!!" seruku keras kepala.
"Sekarang menangislah untuk Papimu!"
"Tidak mau!"
Saat itulah Mamiku bangkit dan menatapku penuh amarah. Dan...tiba-tiba ia menampar pipiku. "Kamu anak jahat!" serunya. Aku shock, untuk pertama kalinya tangan Mami mendarat di pipiku, sepanjang 13 tahun usiaku.
"Haiyya!! Kalau kamu tak bisa menangis, aku akan buat kamu menangis!" Dan ia menamparku berulang-ulang.
"Ayo nangis! Nangis! Nangis, kataku!!" tetapi aku tak bergerak sedikitpun. Aku bisu bagai batu, dan tak setetes pun airmata yang jatuh. Akhimya, menyadari perbuatannya yang melampaui batas, Mamiku menggigit tangannya sendiri, dan mengeluhkan sesuatu dalam bahasa Cina. Dibimbingnya Johan dan Tessa, adik-adikku, menjauhiku. Maka duduklah aku sendiri. Marah, tapi puas. Aku merasa menang dan senang. Walau tak paham senang karena apa? Dan menang karena apa?
Lalu aku berjalan menuju peti mati Papiku. Aku benar, pikirku, dan Mami salah. Dan aku bertekad takkan menangisi lelaki ini. Kenapa dia tak menganggapku hebat lagi, ketika aku masuk Islam? Seperti itulah hubunganku dengan Mami, sejak saat itu. Tapi diam- diam Mami sedikit melindungiku dari amukan saudara-saudaraku yang lain. Sampai akhirnya ketika kelas 2 SMA, Bun Heng tahu tentang keislamanku, lalu menghajarku habis-habisan, dan menggunduli rambutku.
Aku lari dari rumah, lalu tinggal bersama guru SMA-ku. Sampai akhirnya menikah dengan Yasir, anak guruku. Acara walimahanku lebur dengan air mata. Tidak ada abang atau paman menjadi waliku, tidak ada famili satupun yang menghadiri. Tidak ada lagi Edna Fong kini, yang ada Salikha....
Setelah anak pertama lahir, Zaid kubawa berkunjung pada Mami. Dan tak ada kata-kata mesra penyambutan, tetapi sikap bermusuhan yang mereka tampakkan. Bun Heng mengancam, dan tak boleh sekali lagi aku menginjakkan kaki di Petogokan, rumah Papi - tempat tinggal Mamiku. Sampai akhirnya datang undangan itu, undangan pemakaman Nenek Fong.
"Salikha...!"
Aku terkejut menoleh. Lamunanku terputus, Yasir menatapku galau.
"Sudah Maghrib," katanya.
"Astaghfirullahal adzim...."
Kulirik pergelangan tangan, pukul 06.00 teng!! Bagaimana aku berpamit diri dari upacara duka yang belum ketahuan kapan usainya? Akhirnya kugamit lengan Bao bao di dekatku.
"Aku mau shalat Maghrib dulu," lalu bergegas keluar menguntit suamiku. Yasir telah jauh beberapa langkah dariku, dengan Shibghah dan Zaid dalam gandengannya. Waktu aku berlari-lari kecil, kudengar suara orang memanggil.
"Cia...Cia, Cia mau kemana?" tanya Vera, sepupuku yang hanya berdiam diri sedari tadi.
"Aku mau shalat!"
"Tak ada masjid di sini, klenteng banyak," kata Vera terengah-engah.
Aku menatapnya bimbang.
"Cia, datanglah ke rumahku. Ada salah satu ruangan di rumah, yang dapat kau pakai shalat."
Aku menatapnya ragu-ragu, lalu beralih memandang Yasir yang berhenti melangkah pula. Nampaknya dia menemui masalah yang sama, tak menjumpai masjid di sekitar rumah Bibi Nio Hian.
"Ayo Cia!! Tak apa-apa, insya Allah."
Aku tercekat. "Vera, kau...kau...," tetapi tanganku sudah ditariknya masuk ke halaman rumah Bibi Heni, persis di sisi rumah Bibi Nio Hian. Vera memang anak dari Bibi Heni, adik Mamiku. Aku teringat sesuatu, lalu melambaikan tangan pada Yasir. Waktu kubuka lemari pakaiannya, ada mukena putih yang terlipat rapi. Segera kutarik keluar, lalu menatap Vera seperti tak percaya.
"Kau punya ini?" tanyaku heran.
"Ah, Cia. Insya Allah yang tadi, apa tak cukup bagimu?" katanya.
"Aku Islam sekarang, Cia. Hanya kami tak seberani dirimu dulu...," sambungnya lagi.
"Kami?!!" aku terkejut untuk kedua kalinya.
"Yah, kami. Aku, Bondri dan Winnie."
Bola mataku membulat takjub. "Subhanallah...alhamdulillah!!" rasanya hanya tasbih dan tahmid yang mampu kuucapkan. Lidahku begitu sulit untuk mengucapkan yang lain, karena merasakan kebahagiaan yang tak terkira.
"Jadi, kalian menyembunyikan 'ini' selama ini."
"Yah, mulanya kami tidak saling tahu. Tetapi ketika aku memergoki Winnie shalat Subuh di kamar pembantu, barulah kutahu dia sudah memeluk Islam. Sedang aku sendiri, sebelum tahu Winnie Islam, selalu shalat Subuh di dapur...." Subhanallah!! Ghirahku meninggi lagi. Kini kurasakan sesuatu mengalir begitu hangat di sepanjang aliran darahku. Kini, aku punya pasukan kecil di tengah keluarga besarku. Alhamdulillah, ya Rabbul Izzati.
"Lalu Bondri? Bondri bagaimana?"
"Sepertinya, Bondri lebih dulu beriman dari kami. Tapi, baik aku dan Winnie tak pernah tahu selama ini. Dia begitu pandai menyimpannya sendiri...", Vera tanpa diminta telah menjelaskan.
"Tetapi Cia, kami belum bisa sepertimu," ucap Vera sendu.
"Allah Maha Tahu, kemampuan kalian masing-masing."
Waktu Yasir sudah berwudhu, kami semua siap untuk shalat berjamaah. Aku, Vera serta kedua mujahid kecilku. Ketika kami kembali ke rumah duka, tepatnya rumah Bibi Nio Hian, Maminya Bondri, kami disambut oleh kesibukan yang luar biasa.
"Edna? Edna, kamu ikut ke klenteng, kan?? Yuk, sesudah itu kita makan enak," ajak Bibi Nio Hian meriah serta ramah.
"Maaf, Bibi, tidak bisa. Anak-anak telah mengantuk, dan Bang Yasir harus bekerja besok," tolakku sehalus mungkin.
"Ah, anak-anak selalu sibuk!" ujar Bibi Nio Hian menggeleng-geleng.
"Ayo, Helen. Itu Bun Heng sudah mengambil mobil." Kini Bibi bicara pada Mami.
"Edna akan mengantar aku pulang," jawab Mamiku tiba-tiba.
Bibi Nio Hian mendekati Mamiku dengan ekspresi cemas. Lalu katanya dalam bahasa Cina, "Tidak ikut? Kau sakit?"
Aku tidak begitu paham bahasa Cina, tetapi bisa menebak apa yang dimaksud Mami ketika ia menunjuk dadanya. Ada sedikit perasaan tak enak di sini, mungkin kelihatannya begitu ucapan Mami.
Setelah Bibi Nio Hian berlalu, kutanya Mami. "Mami. Mami tidak enak badan?"
"Hahh??" beliau menatapku bingung.
"Tadi Mami bilang, Mami sakit."
"Ah, kamu kan tidak mengerti bahasa Cina. Kamu orang Islam, lebih paham bahasa Arab ..." kata Mami sedikit tertawa kecil.
"Tadi Mami bilang, Mami sudah mendoakan Nenek Fong dalam hati."
"Ooh ..." kataku bingung.
Waktu kami pulang, mataku bertukar pandang dengan Winnie yang tersenyum kecil. Dan kulihat Vera tertawa gembira, sedangkan Bondri dari kejauhan menatap kami dalam diam. Kuatkan hati dan keimanan kalian, wahai saudaraku dalam Islam. Allah bersama kalian, Dia mengetahui apa-apa yang kalian usahakan dan niatkan.
Mami sempat melihat lirikanku pada ketiga sepupuku tadi. Aku jadi ingin tahu, apakah Mami tahu mereka telah Islam ??
Di dalam mobil, kami lebih banyak diam. Kerinduanku pada Mami, entah lumer kemana. Aku cuma memandang keluar, memperhatikan pohon-pohon berlari di jendela. Yasir kelihatan sekali menyetir dengan canggung. Sementara Mami justru meriah, bersenda gurau bersama Shibghah dan Zaid. Sebentar-sebentar kulirik mereka, kuatir Mami mendongengkan tentang Dewi Kwan Im atau Siddharta Buddha kepada anak-anakku, seperti dulu Mami mendongeng waktu aku kecil.
Ketika semakin mendekati rumah Mami, tiba-tiba beliau memanggil. "Yasir ..."
Yasir terkejut, lalu menjawab. "Ya, Mami ... ada apa?"
"Lurus saja, Yasir. Di ujung jalan itu ada musholla kecil. Ba'da Maghrib begini, ada kyai-kyai muda yang mengajar anak-anak kecil mengaji di sana. Mami ingin kamu serta Edna, menjadi saksi atas syahadat Mami ..."
"Mamii !! Allahu Akbar !" jeritku tak tertahankan. Yasir pun tak kalah terkejutnya dariku. Namun dia lebih tenang dan menguasai keadaan. Ketika kami saling menatap, kudapati mataku dan mata Yasir basah.
"Hati-hati Yasir, setirnya. Habis dari musholla, kita pulang dulu ya, ke rumah Mami. Ya Zaid, Shibghah ?.... Nanti Ha-bu sediakan kue bulan. Kita akan makan kue bulan."
Subhanallah. Jadi, itukah ya Allah, surprise-Mu di balik upacara pemakaman ini ? Terangnya mentari serasa membayang di pelupuk mata.
(by : El Kinanti)
keterangan :
Shau-Ning = panggilan sayang, artinya si mungil.
Angpao = amplop keberuntungan berisi uang, dalam kepercayaan Cina.
Cia = artinya kakak, panggilan untuk kakak perempuan.
Ha-bu = artinya nenek.
Monday, January 5, 2009
Cerpen Islami : Kalau suamiku sih....
Suamiku ke luar kota lagi. Terpaksa deh nggak belanja ke pasar, nunggu tukang sayur aja yang biasa beredar di komplek. Waduh! Ibu-ibu, para tetanggaku udah pada ngumpul. Bakalan seru nih. Mereka tengah mengelilingi gerobak sayur yang berhenti tak jauh dari rumahku. Percakapan nggak penting pun meramaikan suasana pagi. Biasalah ibu-ibu...
”Mbak, suaminya ke luar kota lagi ya?’ tanya seorang tetanggaku padaku saat aku baru saja mengucapkan salam pada mereka.
Rata-rata tetanggaku masih muda juga, nggak jauh usianya dariku.
”Kalau saya sih, kalau suami saya lagi keluar kota, bawaannya tuh pingin tau aja dia lagi di mana, lagi ngapain.” Sahut seorang tetanggaku tiba- tiba.
”Suami mbak suka nelfon nggak?” tanya seorang tetanggaku yang lain padaku.
Duh, ibu-ibu sukanya ngurusin orang lain aja deh, gumamku dalam hati. Aku sih hanya bisa tersenyum.
”Kalau suami saya nih ya... ” kata tetangga depan rumahku, ”mesti diingetin dulu sebelum berangkat ’ntar kalo udah nyampe telfon’. Gitu... Kalo nggak diingetin bisa nggak ada kabar sampe pulang lagi ke rumah.”
”Iya memang... mereka nyantai aja, tapi kita yang khawatir di rumah.” sambung yang lain.
Dalam hati, kalau suamiku sih... tiap ke luar kota tujuannya jelas, bagian dari pekerjaannya. Jadi gimana mau khawatir?! Emang sih dia nggak pernah nelfon aku untuk ngasih tau dia sedang apa. Tapi cukup hanya dengan miscal aku, aku tahu kok dia ngapain aja.
Tiap pagi jam 3 dia miscal, tanda dia udah bangun, mau sholat malem. Jam 5 miscal lagi tanda dia udah sholat subuh, mau ngaji. Miscal Jam 7 tandanya dia udah makan, udah siap mau beraktivitas. Miscal jam 12 tandanya dia mau sholat zhuhur trus makan siang. Miscal jam 3 sore tandanya dia mau sholat ashar. Miscal jam 6 tandanya dia mau sholat maghrib dan diam di masjid sampe isya. Jam 8 malam dia miscal lagi tanda dia udah makan malam. Kalau deringnya lama tandanya dia mau ngobrol sama aku atau anak-anak. Kalau nggak, ya berarti dia capek banget, mau langsung tidur.
”Kalo jeng ini mana khawatir, ibu-ibu.” bela tetangga sebelah rumahku, ”Lihat dong jilbabnya. Tinggal berserah diri sama Tuhan, ya sudah.” diikuti dengan anggukan ibu-ibu yang lain.
”Kalau suami saya itu ada lucunya juga... ” kata tetanggaku yang sedang memilih2 sayur bayam, ”kadang-kadang tengah malem dia nelfon ke rumah cuma mo bilang selamat tidur aja. Hi hi...”
”Wah, Kalo suami saya sih, suka nggak sensi. Kalo saya nelpon bilang lagi kangen sama dia, dia cuma bilang ’besok juga aku pulang’... Mbok ya bilang kangen juga gitu lho. Nggak sensi deh, nggak romantis!” gerutu seorang tetanggaku. ”Kalau suami mbak? Romantis nggak?” tanyanya padaku.
Walah?! Aku hanya tertawa kecil, lebih sibuk memilih ikan daripada ikut nimbrung percakapan mereka.
”Eh jangan salah. Jeng ini suaminya romantis buanget.” bela tetangga sebelah rumahku lagi.
Lha?! Aku jadi bingung. Kok malah dia yang lebih tahu.
”Pernah nih...” lanjutnya, ”pagi-pagi Jeng ini bikin kopi anget. Suaminya lagi duduk2 di depan rumah. Saya lagi nyapu halaman. Abis diminum sedikit sama suaminya, dia minta Jeng ini nyicipin. Ternyata kopinya itu pahit, lupa dikasih gula. Tapi gelasnya langsung ditarik sama suaminya. Tau nggak kata suaminya? Katanya gini... ’udah nggak pa pa, abis dicicipin dinda
tadi, langsung manis tuh’. Gituuu...”
Waaa?! Semua orang memandangku... rasanya wajah ini sudah memerah jambu. Tapi aku jadi inget kejadian sore itu. Hi hi hi. Lucu juga.
”Waduh waduh... nggak nyangka lho mbak.” komentar tetanggaku, ”Ternyata di balik itu...”
”Makanya jangan kayak nuduh suami orang nggak romantis gitu dong.” sahut tetanggaku yang lain.
”Kalo suami saya mah jauh dari romantis. Kalo saya lagi pusing, pinginnya kan dimanja, dipijetin. Eee ini malah disuruh minum obat. Kalo nggak ada, beli sendiri ke warung.” gerutu seorang tetanggaku.
”yah betul atuh. Kalo pusing mah minum obat, masa minum racun.” sahut si akang tukang sayur yang ternyata mengikuti perbincangan pagi itu. Tawa ibu- ibu pun menyambut ceplosannya. Aku jadi ikut ketawa juga. Tukang sayurnya ikut-ikutan aja deh.
Pikir-pikir, Kalo suamiku sih... kalo nemenin belanja, selalu ngangkatin barang2 belanjaan. Kalo aku masak pagi2 untuk sarapan, dia pasti nemenin aku duduk di ruang makan walaupun sebenernya dia masih ngantuk, nggak tega katanya kalo aku sendirian di dapur. Kalo aku lagi males nyetrika, dia bilang ’udah besok aja’, padahal baju itu mo dipake besok itu juga. Emang
sih dia nggak bantuin nyetrika. Tapi aku kan jadi nggak beban.
Tapi apakah suamiku romantis, aku masih ragu... Pernah suatu kali saat suamiku berada dalam perjalanan ke luar kota. Aku lagi iseng nih ceritanya.
Aku sms dia, ”abang, malam ini gelap ya? oh iya, kan bulannya lagi ke luar kota.” Dan tak berapa lama dia membalas, ”nggak ada bulan tuh disini, nda. gelap juga, sama.” He he he... ternyata dia nggak ngerti maksudku.
Tapi ah, ngapain aku pikirin. Romantis gak romantis, tetep cinta kok.
Tiba-tiba hp-ku berbunyi di kantong gamisku.
”Wah, ada sms ya, Jeng. Pasti dari suaminya.” goda tetangga sebelah rumahku.
”Iya... tadi pagi saya sms nanyain gimana pagi di sana. Ini pertama kalinya dia datang ke kota itu.” jawabku sambil membaca apa yang tertulis di layar hp-ku itu.
”Apa jeng katanya?” usik tetanggaku yang penasaran melihat aku tersenyum geli.
”Nggak penting kok.” jawabku sambil memasukkan semua belanjaanku ke dalam plastik dan membayarnya. ”Yuk, ibu-ibu... assalaamu’alaykum.” Aku pun pamit pulang ke rumah.
Hmmm, masih dengan senyuman ini... tak bisa hilang kata-kata yang terbaca di layar hp itu dari benakku, jawaban saat kutanya keadaan pagi di kota tempat ia sedang berada.
”Dinda sayang... bagaimana hari bisa pagi di sini, sementara matahari terbit di mata dinda”
Dikutip dari www.Eramuslim.com
Princess LL
wife_wannabe@eramuslim.com
untuk pangeranku... tak perlu kau bacakan puisi dari bawah jendelaku,
jangan pula kau culik aku dengan kudamu, ataupun kau taburkan mawar di
sepanjang jalanku. Ketuk saja pintu itu, maka aku akan menerima apa adanya dirimu
Stay cool ini http://newmasgun.blogspot.com/
Thursday, January 1, 2009
Cerpen Islami : SEINDAH MENTARI PAGI
" Bu,.. awas itu ikannya hampir gosong loh... ", seru khadimatku, Asih, membuyarkan lamunanku.
" Masya Allah...", seruku seraya mematikan kompor.
" Nah loh ibu lagi ngelamun ya... ?", goda Asih lagi.
" Ah, kamu ini... ayo mana belanjaannya ? ", tanyaku.
" Asih, hari ini kita bikin bali ikan, sayurnya kita bikin lodeh saja terus goreng tahu, tempe dan kerupuk". Asih, khadimatku sudah lama ikut aku dan keluarga. Sejak dia baru lulus SD sampai sekarang dia sudah lulus SMEA. Kami sekeluarga sudah menganggap Asih sebagai anggota keluarga sendiri.
Selesai masak bareng Asih sambil menunggu adzan dzuhur aku berniat meneruskan tulisanku semalam, tapi aku hanya termenung di depan layar monitor tanpa dapat memusatkan pikiranku. Aku kembali meneruskan lamunanku yang tadi sempat terputus gara-gara Asih mengejutkanku. Semalam selepas kami sholat Isya' berjamaah, Sarah putri tunggalku menghampiriku di kamar.
" Ummi,... ummi lagi repot ? ", tanya Sarah.
" Nggak kog sayang, ada apa ? ".
" Malam ini ummi nggak nulis ?, biasanya ba'da isya ummi khan langsung asyik sama komputer ".
" He.. he.. Sarah,...Sarah....nggak kog, memang sih ummi mau nulis tapi nanti-nanti saja. Ada apa sholihah... ? ".
" Eng.. eng... ada yang mau Sarah diskusikan sama ummi ".
" Ya,... tentang apa nak ? ".
" Tapi ummi harus janji dulu sama Sarah loh.. ".
" Janji.. ? ada apa memangnya ? ".
" Ya ummi, janji dulu ya mi yah... ? ", Sarah mulai dengan rengekan manjanya
" Iya deh insya Allah.... ".
" Ummi musti janji pertama ummi jangan motong dulu sebelum Sarah selesai, terus yang kedua ummi jangan bicarakan ini dulu sama siapapun kecuali sama Abi. Sarah nggak mau kalau mas Fadhil, mas Yazid dan Zakly tahu sebelum waktunya ", kata Sarah seraya menatapku.
" Hhhmm.... iya insya Allah ".
" Nah,... sekarang ummi dengarkan baik-baik yah...? ", pinta Sarah dengan kerlingan manjanya.
" Iya.... ini dari tadi juga ummi sudah dengerin kog...", kataku mulai tak sabar.
" Mmhhhh... begini ummi,.... akhir-akhir ini Sarah mulai berpikir kalau... mmhhh...mmhhh.. kalau Sarah pingin menyempurnakan setengah dari dien Sarah ", kata Sarah perlahan lantas Sarah tertunduk dan diam.
Aku masih terdiam, rasanya otakku saat itu bekerja dengan sangat lambat untuk mencerna kata-kata Sarah. Sarah ingin menyempurnakan setengah dari diennya itu artinya Sarah hendak menikah....Subhanallah... Alhamdulillah... putri tunggalku sudah berpikir ke arah sana.
" Sarah,...subhanallah nak...", aku tak dapat meneruskan kata-kataku.
" Ummi kaget Sarah,... tapi sekaligus juga bangga ", kataku seraya memeluk Sarah yang masih tertunduk di hadapanku. " Alhamdulillah nak.... Insya Allah kalau nanti abi sudah pulang akan ummi diskusikan dengan abi. Nah,...mau ngomong begitu aja kog dari tadi pakai takut-takut segala sih sayang.. ? ", godaku.
Sarah masih menunduk sambil tersenyum.
" Sekarang masalahnya Sarah mau nikah sama siapa ?", tanyaku. "Atau Sarah pingin abi dan ummi yang carikan calonnya ? ".
" Mmhh... sebenarnya Sarah sudah punya calon ummi.... ", katanya perlahan.
" Heh... ?? Sarah sudah punya calon... kog abi dan ummi nggak tahu ? ".
Terus terang aku terkejut. Aku kenal betul siapa Sarah, ia sangat hati- hati dalam menjaga pergaulan dengan lawan jenisnya. Tapi kog tahu-tahu sekarang sudah ada calon.
" Ummi masih janji kalau nggak memotong sebelum Sarah selesai khan,...sekarang Sarah mau cerita yang lengkap ". Sarah menarik nafas.
" Begini ummi,... ada temen pengajian Sarah di kampus, akhwat itu punya mas. Nah, masnya itu insyaAllah akhlaq dan diennya baik ".
" Hhmm.... lantas.. ", kataku tak sabar.
" Temen Sarah itu mengusulkan agar Sarah menikah dengan masnya. Nah,.. sekarang Sarah mau minta tolong ummi dan abi atau mas Fadhil atau mas Yazid untuk menyelidiki apa memang betul ikhwan itu diennya baik dan insya Allah bisa cocok sama Sarah ".
" Hhhmmm... begitu ? ".
" Sarah belum pernah ketemu sama ikhwan itu, Sarah baru lihat fotonya saja dan Yasmin, teman Sarah itu cerita kalau ikhwan itu insya Allah shalih. Sarah percaya sama Yasmin, ummi masih ingat Yasmin khan yang pernah kesini itu lho... ".
" Ummi lupa abis khan banyak akhwat temen Sarah yang main kesini ".
" Ummi,... abi dan ummi khan selalu bilang kalau apapun yang kita kerjakan harus lillaahita'ala khan ? ", tanya Sarah. Aku hanya mengangguk....
" Ummi,....insya Allah Sarah ingin pernikahan ini juga menjadi ibadah karena Sarah pingin mencari ridho Allah ummi. Sarah ingin nikah dengan ikhwan itu karena Sarah ingin menolong ia dan keluarganya mi... Ummi,.. sebenarnya ia sudah menikah, sudah punya isteri ".
" Heh....", seruku dengan terkejut.
Tanpa memperdulikan keterkejutanku Sarah kembali meneruskan kata-katanya.
" Ummi, ikhwan itu sudah nikah hampir 6 tahun, tapi sampai sekarang belum dikasih amanah oleh Allah, isterinya punya fisik yang lemah, sering sakit-sakitan. Sarah berpikir ummi,.... Sarah ingin bisa menolong keluarga itu untuk sama-sama berjihad di jalan Allah. Sarah bisa bantu-bantu pekerjaan rumah tangga dan insya Allah nanti Sarah bisa melahirkan jundi-jundi yang bisa dididik sama-sama. Ummi ingat ya ummi,... Sarah insyaAllah mau melakukan ini semua hanya karena Allah, Sarah cuma mau mencari ridho Allah saja ummi.... Sarah sudah istikharoh berkali-kali dan Sarah makin hari makin mantap aja ".
Aku hanya terdiam,... tak tahu harus berkata apa. Terus terang aku sangat ingin suamiku ada disampingku saat ini. Kenapa Sarah harus membicarakan hal itu di saat suamiku ke luar kota. Aku bingung tak tahu harus berkata apa....
" Ummi,.... ", panggil Sarah perlahan.
" Sarah,...sekarang ummi mau tanya ya nak... ".
" Bagaimana awal mulanya kog tiba-tiba Sarah ingin menikah dengan ikhwan itu ? ".
" Begini ummi,...Yasmin bilang kalau mbak Asma, nama isteri masnya itu, pernah bilang ke Yasmin bahwa mbak Asma ingin suaminya menikah lagi ".
" Hhmmm.... terus.... ".
" Soalnya mbak Asma tahu benar kalau suaminya sudah ingin punya jundi sementara mbak Asma sendiri sampai sekarang belum juga dikasih kesempatan oleh Allah untuk hamil. Kasihan mbak Asma ummi,...sudah fisiknya lemah, kesepian lagi. Sehabis Yasmin cerita begitu Sarah jadi kepikiran, Sarah ingin membantu keluarga itu ummi.... Sarah pingin bisa bantu-bantu mbak Asma, nemenin mbak Asma, insyaAllah nanti Sarah juga bisa melahirkan jundi yang bisa dididik sama-sama. Khan Ummi sendiri yang bilang kalau untuk menuju kebangkitan Islam memerlukan generasi yang berkualitas, insya Allah nanti akan lahir generasi-generasi robbani ."
Setelah sholat dzuhur berdua dengan Asih aku kemudian makan sendirian. Kalau siang seperti ini rumah selalu sepi, hanya aku berdua dengan Asih saja. Mereka biasanya makan di kampus masing-masing dan Yazid makan di cafetaria kantornya. Terus terang aku kesepian, ingin rasanya aku segera mendapatkan cucu-cucu dari mereka. Dan kini salah seorang dari mereka mengajukan keinginannya untuk menikah, tapi...kenapa Sarah hendak nikah dengan seseorang yang telah beristri?.... Rasanya sejak semalam aku sulit berpikir secara jernih, aku terlalu terbawa alam perasaanku. Diantara mereka berempat aku tidak membeda-bedakan kasih sayangku. Aku selalu berusaha adil terhadap mereka. Tapi tak dapat kupungkiri kalau Sarah menempati posisi yang lebih istimewa. Perhatianku lebih tercurah ekstra pada Sarah. Karena Sarah hanya satu-satunya putri tunggalku. Aku lebih melindungi Sarah dibandingkan dengan putra-putraku yang lain. Timbul rasa was-was dalam hatiku, bagaimana kalau seandainya suaminya nanti tak dapat berlaku adil, bagaimana kalau seandainya madu Sarah tidak memperlakukannya dengan baik karena merasa mendapat saingan dan bagaimana kalau nanti Sarah tidak bahagia. Semua itu menjadi beban pikiranku. Aku menyayangi Sarah, dan wajar bila sebagai seorang ibu aku ingin melihat anak-anakku bahagia. Aku menjadi tidak berselera makan. Tiba-tiba...
" Assalamu'alaikum,...", suara Zakly kudengar dari teras depan.
" Wa'alaikumussalam,... loh kog sudah pulang ? ", tanyaku.
" Iya mi, dosennya nggak ada... lagi pula siang ini sudah nggak ada kuliah lagi kog ", jawab Zakly seraya mencium tanganku.
" Ayo makan sekalian,...ummi baru saja mulai ".
" Sebentar mi, cuci tangan dulu... ".
Seperti kebiasaan mereka sejak kecil, setiap pulang sekolah waktu makan siang mereka akan bercerita tentang kejadian mereka di sekolah hari itu. Dan hingga kini meskipun mereka telah beranjak dewasa kebiasaan itu tetap terbawa. Zakly sedang bercerita tentang susahnya mencari dosen pembimbingnya untuk skripsi. Tapi aku hanya menanggapi setengah hati, konsentrasiku tidak terpusat seutuhnya pada apa yang dibicarakannya.
" Ummi,.... ummi kenapa sih...? ", tanya Zakly.
" Oohh...nggak,... Zakly bilang apa tadi temen Zakly kenapa ? ".
" Nah khan... ketahuan deh kalo ummi nggak dengerin Zakly ngomong ".
" Nggak,.. kenapa tadi.... ? ".
" Sejak tadi pagi Zakly perhatikan ummi hari ini agak lain deh... ".
" Ah masa sih,... itu khan perasaan Zakly saja.. ".
" Bener kog... tadi pagi di garasi mas Yazid saja tanya sama Zakly, kog ummi pagi ini agak diam ya... nggak secerewet biasanya ".
" Eh,...ghibah ih,...ngomongin umminya ", sahutku sambil tersenyum.
" Bener kog... ummi nggak sakit khan ?? ".
" Nggak ummi nggak apa-apa kog... ".
" Kalo nggak apa-apa kog ummi jadi agak lain ayo !", desak Zakly masih dengan ngototnya.
Sifat Zakly ini menurun dari abinya, yang nggak akan berhenti bertanya kalo belum mendapatkan jawaban yang dapat memuaskan hatinya.
" Ummi...ummi cuma pingin abi cepet pulang, gitu aja.." sahutku perlahan.
" Ha.... ha.... ", meledak tawa Zakly.
" Lho kog ketawa sih ? ",tanyaku.
" Abis ummi lucu, kaya pengantin baru aja deh.... dikit-dikit kangen pingin ketemu abi ".
" Yah wajar dong.... namanya juga suami isteri ".
" Tapi ummi lucu deh... kita khan pura-pura nggak tahu aja, kalau sebenarnya di belakang kita ummi tuh kolokan banget sama abi... ", goda Zakly lagi.
" Hhhmmm.... kata siapa ? ", tanyaku tak mau kalah.
" Yah ummi...ngaku aja deh,...kalau ummi khan masih manja banget sama abi, ummi kita khan udah pada gede-gede, sudah ngerti ", kata Zakly masih sambil ketawa.
" Udah ah,... ketawa aja tersedak lho nanti maemnya.. ",sahutku.
" Mmmhh...ummi nggak mau ngakuin tuh..., sabar dong ummi insya Allah besok abi khan sudah pulang ", goda Zakly lagi.
" Udah,... cepat dihabisin maemnya Zakly... ".
" Iya nyonya besar.... ", kata Zakly sambil tersenyum-senyum menggoda.
" Ummi,...", panggil Zakly lagi.
" Apa lagi sholeh ?? ".
" Mmhh... Zakly nanti ingin kalau punya rumah tangga seperti rumah tangga abi dan ummi.... ".
" Kenapa memangnya... ? ".
" Sepertinya abi sama ummi tuh seneenng terus, nggak pernah Zakly lihat abi sama ummi ribut, meskipun sudah tua-tua tapi masih seperti pengantin baru saja ".
" Hhmmm... kalian khan nggak tau saja, pernah juga abi dan ummi berselisih, karena beda pendapat, itu wajar dalam rumah tangga ".
" Oya... kog Zakly nggak tahu.. ".
" Aduh anakku sholeh.... masa sih kalau abi sama ummi lagi nggak enakan harus lapor sama kalian, nggak khan ?".
" Iya.. ya.... ".
" Itu rahasia abi dan ummi, kita selesaikan berdua, diskusi, dibahas, saling menghargai pendapat lawan, cari jalan tengahnya ".
" Terus mi.... ".
" Ya sudah,...berusaha menyelesaikannya secepat mungkin, dan saling mengalah. InsyaAllah keadaan cepat normal lagi, baikan lagi. Kunci yang penting Zakly,... kalau nanti Zakly sudah berkeluarga, jangan pernah kalian ribut di depan anak-anak, karena nggak baik buat perkembangan jiwa mereka. Selesaikan berdua ketika sudah sama-sama tenang sehabis sholat misalnya ".
" Hhmmm... itu makanya abi sama ummi tetap awet sampai sekarang yah ? ".
" Yah... alhamdulillah nak, abi dan ummi saling cinta meskipun dulu kita nggak pakai istilah pacaran ".
" Iya mi,... Zakly tahu itu....subhanallah....
"Iya,... Islam sudah bikin aturan yang benar dan baik tinggal tergantung kita mau ikut atau nggak ", kataku lebih lanjut. Sudah sekarang cepat habisin maemnya... ".
" Jazakillah ya ummi buat materinya siang ini.... ".
" Hhmm... waiyakallahu.. ".
Dan tiba-tiba.... kring... dering suara telfon.
" Hallo,... ", angkat Yazid.
" 'Alaikumussalam,... oh abi nih... Iya bi,... bener nih nggak usah dijemput ?. Iya-iya....insya Allah.... 'alaikumussalam... ".
" Dari abi, Yazid ?? ", tanyaku.
" Iya,... seminar abi ternyata selesai hari ini, abi sekarang ada di airport sebentar lagi pulang ".
" Lho,... abi nggak minta dijemput ? ", tanyaku.
" Kata abi, abi mau naik taksi saja biar cepat, kalau nunggu dijemput kelamaan ".
" Insya Allah sebentar lagi abi pulang ". harapku.
Selesai sholat isya'....
" Kalian sudah pada lapar ya ?, mau makan sekarang atau nunggu abi saja sekalian ? ", tanyaku.
" Nanti aja mi,... enakan bareng-bareng abi aja.. ".
" Kalau kalian mau maem dulu nggak apa-apa, biar nanti ummi saja yang nemenin abi ".
" Nggak usah mi,... khan sebentar lagi insya Allah abi juga datang ", jawab Fadhil lagi.
Dan benar, tak berapa lama kemudian....
" Assalamu'alaikum,...", suara suamiku dari teras depan.
" Wa'alaikumussalam... ", jawab kami berbarengan.
Kelakuan mereka masih persis anak-anak langsung berebut membuka pintu buat abinya dan mencium tangan abinya. Kalau melihat mereka seperti itu tak percaya rasanya kalau mereka sudah pada besar-besar dan sudah waktunya untuk nikah. Ah,...nikah lagi... kenapa itu yang ada dipikiranku selalu.
" Ummi,..ini nih pacar ummi udah datang...", seru Zakly.
" Zakly,...apa-apa an sih ya...", kataku sambil melotot.
" Alah.. ummi, tadi siang bilang kangen, pingin abi cepet pulang, sekarang malah berdiri disitu aja... ", goda Zakly lagi.
" He.. he.... memang tadi siang ummi kenapa Zakly ", tanya suamiku.
" Tadi siang nih bi.... ".
" Udah Zakly,... abi baru aja dateng,... cuci tangan dulu deh bi,.. terus kita maem ", potongku langsung.
" Iya bi,.. kita tadi udah laper nungguin ", kata Sarah.
Seperti biasa waktu makan malam adalah saat dimana kami dapat makan bersama. Kalau pagi, anak-anak biasa sarapan lebih dulu sedangkan aku dan suamiku hanya sarapan berdua, karena suami ke kantor agak siang dibanding mereka pergi. Kalau siang mereka tak pernah makan di rumah, biasanya aku makan sendiri. Jadi baru makan malamlah kami dapat berkumpul bersama. Dan seperti biasa mereka saling tak mau kalah kalau sudah cerita, jadi bisa dibayangkan bagaimana semaraknya suasana.
" Oya,...tadi Zakly bilang apa tentang ummi ", tanya sumiku mendadak.
" Oh,... he.. he.. ini ummi,... ".
" Kenapa Zakly ? ", tanya Yazid.
" Tadi siang khan Zakly makan di rumah , terus pas Zakly ajak ngobrol ummi tuh kayanya nggak bener-bener ngedengerin deh,... Zakly pikir kenapa gitu.... ".
" Trus.... ", potong Fadhil.
" Waktu Zakly desak-desak ummi bilang nggak apa-apa,.. tapi akhirnya ngaku juga... ".
" Ummi bilang apa... ? ", tanya suamiku.
" Ummi bilang kangen sama abi, pingin abi cepat-cepat pulang, waktu ngomongnya kaya anak remaja yang umur 17 tahun, sambil malu-malu gimanaaa.. gitu ".
Langsung, tawa mereka memecah...
" Ih,... ummi perasaan biasa aja bilangnya, ngapain juga pakai malu-malu segala, orang abi sama ummi udah 28 tahun nikah ", sahutku.
" Alah ummi,..Zakly tadi khan liat muka ummi merah-merah gimana gitu ".
" Oooohh.... pantesan tadi pagi Yazid juga perhatikan ummi agak aneh, nggak seperti biasanya ", sambung Yazid.
" Iya,..ummi tadi pagi agak diam, hhmm baru ketauan ternyata sebabnya kenapa ", kata Fadhil
Mereka masih tertawa-tawa, kulirik Sarah hanya tersenyum tak ikut menggodaku seperti yang lain. Tentu Sarah tahu dialah yang menjadi penyebab kenapa seharian ini aku agak aneh.
" Iya mi,...bener ya apa yang Zakly bilang ", tanya suamiku sambil menatapku dalam-dalam.
" Hhmm.... ", aku hanya tersenyum, jengah juga rasanya ditatap seperti itu di depan anak-anak meskipun mereka udah dewasa.
Mendadak tawa mereka memecah lagi....
" Lho,... kenapa sih... ?? ".
" Coba deh ummi ngaca, muka ummi tuh lucu banget tersipu-sipu gimana gitu, kaya remaja 17 tahunan ", kata Zakly.
" Ummi... ummi...,mau bilang iya aja kog pake malu-malu segala sih... ", kata suamiku.
" Padahal abi khan baru pergi 3 hari yang lalu, ya khan ? ", tanya suamiku ke mereka.
" Tunggu aja bi,.. nanti kalau kita sudah nggak ada, ummi bakal ngaku juga sama abi,... ", kata Zakly.
" Udah ah,... nggak selesai-selesai maemnya nanti, ingat abi belum sholat lho..", kataku mengalihkan pembicaraan.
Setelah suamiku sholat, seperti biasa kami berkumpul di ruang tengah. Dan juga seperti biasa mereka tak pernah habis-habis akan topik bahasan. Mulai dari kerusuhan tentang adanya isyu pembunuhan dukun santet yang menyebabkan sebagian ulama juga ikut terbunuh, tentang harga sembako yang masih saja sulit dijangkau, dan juga tentang keanekaragaman visi dari bermacam-macam partai Islam yang ada. Sampai pada masalah banyaknya anak-anak yang putus sekolah karena tak ada biaya serta kondisi gizi anak-anak balita yang memprihatinkan. Dan seperti biasa, mereka ingin agar segera terbentuk khalifah Islam dimana segala macam bentuk perundang-undangan bersumber pada Al Qur'an dan sunnah Rasul yang insya Allah apabila semuanya itu dilakukan dapat menjamin pola kehidupan masyarakat akan menjadi baik.
Dari balik layar monitor kuperhatikan Sarah tidak selincah biasanya dalam berdiskusi dengan mas-masnya, Sarah hanya sesekali menimpali itu pun dengan nada bicara yang tanpa semangat, sedangkan aku dari tadi duduk di depan komputer, tapi hanya satu paragraf yang berhasil kutulis. Karena perhatianku lebih tercurah pada apa yang mereka bahas dibanding dengan susunan cerita yang sedang kukerjakan. Ingin rasanya aku cepat-cepat menarik suamiku ke kamar untuk membahas keinginan Sarah. Tapi kulihat mereka masih asyik, dan sekarang`mereka sedang nonton Dunia Dalam Berita. Biasanya sehabis acara itu mereka masih duduk di situ untuk membahas berita yang baru saja mereka lihat, sebelum akhirnya masuk ke kamar masing-masing. Setelah dunia dalam berita....
" Abi nggak capek,... khan tadi baru pulang, besok harus ke kantor khan ? ", kataku.
" Besok saja diterusin obrolannya,... atau kalian ngobrol berempat saja... ", sambil kutatap mereka.
" Kasian abi dong.... ", sambungku lagi.
" Hhhmm.... hhmm.... ", Zakly pura-pura batuk, yang aku tahu itu hanya untuk menggodaku saja.
" Iya deh,...lagian masa abi ngobrol sama kalian aja, abi khan juga pingin ngobrol sama ummi ", kata suamiku.
Tawa mereka memecah lagi...
" Bukan,... bukan gitu, abi khan baru pulang, dan besok harus kerja ", bantahku.
" Iya..iya...udah yok mi,.. kita bobo...", ajak suamiku.
" Jangan lupa lho, periksa lagi pintu jendela sebelum kalian masuk kamar ", perintahku pada mereka.
Kulirik jam, sudah pukul 10 kurang seperempat. Tak mungkin rasanya aku bercerita malam ini. Suamiku tentu lelah, biar besok saja setelah sholat shubuh pikirku. Dan kulihat suamiku sudah merebah di tempat tidur dan bersiap-siap untuk tidur. Iya,... nggak mungkin malam ini, besok saja putusku. Tapi aku masih belum dapat memejamkan mata, ingin rasanya hari segera berganti. Aku tidak biasa memendam sesuatu terhadap suamiku. Aku ingin segera menumpahkan apa yang menjadi beban pikiranku. Yah,... insya Allah nanti selepas shubuh...
Setelah qiyamul lail, sambil menunggu shubuh aku bergantian membaca qur'an dengan suamiku. Seperti biasa suamiku dan anak-anak sholat shubuh di mesjid. Tinggal aku, Sarah dan Asih sholat berjama'ah di rumah. Pada halaman terakhir aku membaca Al Matsurat, suamiku pun tiba. Akhirnya setelah kulipat mukena dan kurapikan sajadah aku berdiri di hadapan suamiku yang sedang duduk di tepi tempat tidur....
" Mas,... mas masih ngantuk ? mau tidur lagi ? ".
" Nggak kog,... mas nggak ngantuk, kenapa de' ? ".
" Mmhhh... ada yang mau ade' omongin sama mas... ".
" Iya,.. tentang apa de' ? ", tanya suamiku seraya menarikku untuk duduk di hadapannya.
" Mmhh.. ini tentang Sarah mas,... ".
" Iya,.. ada apa memangnya sama Sarah ? ".
Akhirnya kuceritakan semua apa yang menjadi keinginan Sarah. Rasa banggaku terhadap Sarah yang memiliki niat seperti itu. Persetujuanku terhadap keinginannya, tapi juga sekaligus rasa khawatirku, rasa cemasku akan putri tunggalku. Betapa aku amat mengasihinya dan aku tidak ingin ada sesuatu hal buruk yang akan dialaminya kelak. Di satu pihak apa yang menjadi keinginan Sarah patut untuk aku dukung, karena yang dilakukan Sarah hanyalah untuk mencari ridhoNya semata, tak boleh aku menghalanginya dari jalan Allah. Tapi di pihak yang lain aku khawatir bila nanti suaminya tidak bisa berlaku adil atau rasa cemburu dari madunya akan menyakiti hatinya. Aku rasa kekhawatiranku adalah hal yang wajar, karena waktu Fatimah mengadu kepada Rasulullah SAW akan niat Ali ra yang hendak nikah lagi, Rasulullah pun berkata bahwa apabila menyakiti hati Fatimah, itu sama halnya dengan menyakiti hati beliau, karena rasa kasih sayang Rasulullah sangat besar terhadap Fatimah. Tapi aku sungguh tersentuh dengan niat Sarah yang subhanallah sangat mulia. Kutumpahkan semua uneg-uneg di hatiku pada suamiku.
" De',... mas tahu,...ade' sayang sekali pada Sarah, begitu juga mas ", kata suamiku perlahan.
" Tapi de',... ade' tahu khan kalau Sarah itu bukan milik kita, Allah cuma menitipkan Sarah ke kita. Alhamdulillah Allah mau memberikan amanahNya pada kita, bukan cuma Sarah, tapi juga Fadhil, Yazid dan Zakly ".
" Mas bangga pada anak-anak, begitu juga mas bangga pada ade' yang sudah berperan buat mentarbiyah mereka. Karena mereka semua nantinya harus kita pertanggung-jawabkan kepada Allah. Nah,...sekarang misalnya ade' ada di posisi Asma, sudah fisiknya lemah, sakit-sakitan, kesepian..., padahal dia menginginkan untuk dapat berperan menjadi pendidik generasi yang dapat menggantikan perjuangan generasi sebelumnya, dia juga menginginkan akan adanya panggilan 'ummi' dari seorang anak yang lucu. Gimana coba ? ", tanya suamiku dengan lembut.
" Dari cerita ade' tadi,...Asma sendiri yang usul supaya suaminya nikah lagi, rasanya apa yang ade' khawatirkan insya Allah nggak akan terjadi deh...Dia sudah rela suaminya menikah lagi, dia sudah ridho dan insya Allah diapun akan memperlakukan Sarah dengan baik.. . Ade' juga tau khan kalau Allah pasti memberikan yang terbaik, belum tentu apa yang menurut kita nggak baik tapi sebenarnya itu justru baik menurut Allah, cuma Allah yang tahu ade '...., kita tidak tahu apa-apa... ".
Sampai sini air mataku mulai menetes...Astaghfirullah...Ampuni aku ya Allah,... aku terlalu melibatkan perasaan dan emosiku. Sarah hanyalah milik-Mu, dan Engkau yang akan menjaganya... " Ade',..ade' inget khan kalau rasa cinta kita terhadap keluarga, harta dan sebagainya tidak boleh melebihi rasa cinta kita terhadap Allah, Rasul dan jihad di jalan-Nya ? ",tanya suamiku.
Aku hanya mengangguk....
" Jadi insyaAllah kitapun akan mendapat ridho Allah, dari apa yang dilakukan Sarah nanti...., karena kita dengan ikhlas menyetujui Sarah menikah hanya karena kita juga sama-sama mencintai-Nya ".
Kami sama-sama terdiam sesaat. Kutarik nafas panjang...
" Mas,...", panggilku lirih.
" Ya sayang... gimana ? ", tanya suamiku,
" Iya mas...ade' sudah tenang sekarang,...kalau tadi meskipun ade' setuju tapi tetap ada yang ganjal rasanya ".
" Kalau sekarang.. ? ", tanya suamiku.
" Ade' sekarang sudah ikhlas mas,... hati ade' sudah plong rasanya, ade' sadar ada Allah yang akan menjaga Sarah, Sarah kan cuma milik Allah ya mas ?? ".
" Nah,... gitu dong... insya Allah Sarah, Asma dan Farid bisa membentuk keluarga sakinah, yang bisa mencetak generasi rabbani, kita tinggal mendo'akan mereka saja de'...".
" Tapi mas,... ", kataku tertahan.
" Tapi kenapa lagi ? masih belum sreg juga ?
" Bukan begitu,... cuma mas kog kayanya begitu gampang memutuskan masalah ini, kayanya mas sudah tau tentang ini sebelumnya ", kataku penuh curiga.
" Mmmhhh... sebenernya sebelum ade' cerita tadi mas udah tau kog de'... ", kata suamiku.
" Hah.... ?? ", tanyaku heran.
" Mmmhh.. sebelum mas ke Jakarta Farid dateng ke kantor mas, sudah diskusi dengan mas... ".
" Lho.. ??? ".
" Iya,... Mas juga tahu siapa Farid itu, juga isterinya, tapi waktu itu mas sorenya udah buru-buru mau berangkat mas pikir nanti saja pulang dari Jakarta cerita ama ade', terus pas ade' lagi belanja sama Asih mas interlokal dari Jakarta, yang ada di rumah Sarah, mas tanya sama Sarah. Ternyata Sarah juga sudah tahu dari Yasmin, mungkin Asma sudah minta Yasmin bilang ke Sarah, begitu de' ", penjelasan suamiku.
" Lho,.. Sarah kog nggak bilang kemaren sama ade' kalo mas sebenarnya sudah ngomong sama Sarah duluan ?", tanyaku masih kebingungan.
" Iya,... mas bilang sama Sarah, supaya Sarah bilang sama ade' saja, tanya pendapat ade' gimana gitu... . Khan nggak enak kalau tahu-tahu mas udah langsung ngasih persetujuan duluan padahal ade' masih belum tahu apa-apa", kata suamiku lagi.
Subhanallah....betapa suamiku sangat menghargai aku, dari dulu suamiku tidak pernah mengambil keputusan sendiri dalam masalah rumah tangga, selalu mengajakku untuk berunding terlebih dahulu.
" Tapi mas,...ade' masih mau tanya lagi nih.. ", kataku.
" Iya sayang,... kenapa lagi ? ".
" Tadi mas bilang kalau mas tahu bener siapa Farid itu, memang mas sudah kenal sebelumnya sama Farid ? ".
" Mmmhh....mmmhh....", suamiku tidak menjawab hanya tersenyum saja.
Dan aku tahu apa itu artinya...suamiku tidak akan menjawab pertanyaan semacam itu. Tapi akupun tahu sebesar apa kasih sayang suamiku terhadap Sarah. Tidak mungkin rasanya suamiku membuat keputusan besar seperti ini tanpa lebih dahulu menyelidiki bagaimana keluarga Farid dan Asma.
" Yang penting de',... kita berdo'a aja untuk kebahagiaan mereka ", ujar suamiku.
" Hhhmm... iya deh,... yang penting kita tinggal berdoa saja buat mereka ", kataku.
" Terus mas ada lagi,.. berarti mas tahu dong kemarin pas ade' gelisah soalnya ada yang mau ade' omongin sama mas, ya khan ?", tanyaku.
" Iya doonngg...., masa mas nggak tahu, khan ade paling nggak bisa menyembunyikan sesuatu dari mas, meskipun sebenarnya ade' berusaha nutup-nutupin juga... ".
" Berarti mas tau dong sebenarnya ade' pingin ngomong kemaren ? ", tanyaku lebih gencar.
" Iya dong...tau dong....", kata suamiku sambil tertawa.
" Ih,... mas jahat,... nggak mau dibahas dari kemarin saja... mas tau nggak, ade' tuh semalam nggak nyenyak bobonya,... pingin cepat-cepat pagi biar cepat cerita sama mas... ", jelasku.
" Iya.... mas juga tahu, mas iseng saja... sekalian melatih kesabaran ade'...", sambung suamiku masih tertawa.
" Mas jahat ih.... sudah tua masih suka iseng ngerjain isterinya... ", kataku berusaha untuk tidak ikut tersenyum.
" He.. he.... alaah de'.... mau ketawa aja pakai gengsi segala sih.... ", kata suamiku sambil mengacak-ngacak rambutku. " Hhmmmm.... si mas....", aku sudah kehabisan kata-kata.
Tiba-tiba suara pintu kamar diketuk dengan agak keras, aku sudah hafal siapa lagi kalau bukan Zakly yang berani mengetuk seperti itu...
" Abi,... Ummi,.... pada mau pamitan nih.... ", teriak Zakly dari luar.
" Hhmm....Zakly ya, ngomong agak pelanan khan bisa ", kataku sambil membuka pintu kamar.
" He.. he.... abis tadi Sarah udah ngetuk tapi nggak dibukain sih,..ya udah Zakly aja yang ngetuk lagi, katanya membela diri.
" Lho bi,... kog belum siap ?? nggak ke kantor hari ini ya.. ? ", tanya Fadhil.
" Iya,... nanti agak siangan... ", jawab suamiku.
" Udah pada sarapan ? ", tanyaku.
" Udah dong.... khan kita sarapan sendirian.... ummi sama abi khan masih di dalam kamar ", kata Zakly sambil sedikit memonyongkan bibirnya.
" Khan udah pada gede juga.... ", kataku sambil tertawa.
" Ya udah mi,... berangkat dulu nih.... ", kata Yazid sambil mereka bergantian mencium tangan kami satu-persatu.
" Sarah,...berangkat ya mi... ", katanya sambil berbisik di telingaku sambil mencium pipiku.
" Iya nak,... hati-hati ", lantas kupeluk Sarah agak erat. Sarah pun membalas pelukanku dan sambil mengusap kerudungnya aku seraya berbisik bahwa aku ikhlas menyetujuinya. Kulihat mata Sarah berkaca-kaca....
" Woow... Sarah pamit ke ummi aja sampai kaya gitu, kaya di film-film telenovela aja ", goda Zakly.
" Udah ah,... kamu khan nggak tahu ", balas Sarah.
" Lho memangnya ada apa sih mi... ? ", tanya Fadhil.
" Udah,... sekarang berangkat saja kalian, udah siang lho nanti malam saja kita bahas... ", kata suamiku.
" Lho... emang ada apa... ?? ", tanya Zakly lagi.
" Udah.... berangkat sana.... ingat Zakly kalau naik motor jangan ngebut....terus kalian kalau jajan jangan sembarangan, sekarang lagi musim macam-macam penyakit ", kataku mulai lagi dengan segala pesan-pesan.
" Yah,.... ummi balik lagi dah... padahal kemarin udah anteng, udah diem ya mas Yazid ? ", kata Zakly.
" Iya nih ummi... habis abi sudah pulang sih...", timpal Yazid.
" Iya,... balik lagi deh berisiknya ", tambah Zakly.
" Zakly,... kog ngomong gitu sama umminya.. ", kataku.
" Afwan mi,.. becanda mi.... ", kata Zakly sambil memeluk bahuku.
" Hhmmm... udah ah,..pada terlambat lho nanti... ".
" Assalamu'alaikum....", kata mereka berbarengan.
" Wa'alaikumussalam...".
Aku antar mereka sampai depan rumah. Sambil menikmati hangatnya sinar mentari pagi di teras depan, aku termenung,....alhamdulillah aku bahagia ya Allah atas segala nikmat-Mu. Lindungilah mereka Ya Allah, tuntunlah selalu langkah-langkah mereka, penuhilah hati dan cinta mereka hanya dengan iman dan takwa kepada-Mu semata....
Rabbanaa hablanaa min azwajinaa wadzurriyaatinaa qurrota
'ayun waj'alnaa lil muttaqiina imaama...
Amiin Ya Rabbal 'aalamiin....